Mohon tunggu...
Disisi Saidi Fatah
Disisi Saidi Fatah Mohon Tunggu... Blogger

Cendekia Al Azzam - Suka mengabadikan perjalanan melalui tulisan untuk dikenang di kemudian hari | Suka Buku dan Film

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Saatnya Mengangkat Sekubal dan Getuk Lampung ke Meja Sekolah

5 Oktober 2025   20:39 Diperbarui: 6 Oktober 2025   13:21 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Irisan sekubal khas Lampung, terbuat dari ketan dan santan, disajikan di atas daun pisang yang harum. (Sumber: dunialoka.id)

Kita sering lupa bahwa rasa, gizi, dan budaya bisa tersaji di satu piring. Saat pemerintah menggulirkan program Makan Bergizi Gratis (MBG) untuk anak sekolah, sebagian orang mungkin langsung berpikir: nasi, lauk, sayur, dan buah. Padahal, Indonesia memiliki ratusan sumber pangan lokal yang tak kalah bergizi dan jauh lebih dekat dengan akar budaya masyarakatnya.

Di Lampung, misalnya, ada sekubal, seruit, dan getuk Lampung - tiga sajian yang mewakili kekayaan rasa sekaligus kearifan lokal. Masing-masing punya potensi besar untuk diadaptasi menjadi menu MBG yang bukan hanya bergizi, tapi juga mengandung nilai edukatif dan rasa kebanggaan daerah.

Sekubal: Ketan, Santan, dan Filosofi tentang Kebersamaan

Sekubal adalah penganan berbahan dasar beras ketan dan santan yang dimasak perlahan hingga padat, lalu dibungkus daun pisang dan dikukus lama. Dari luar tampak sederhana, tapi di balik keharumannya tersimpan filosofi tentang kesabaran dan kebersamaan. Di banyak keluarga Lampung, sekubal menjadi hidangan wajib saat hari raya atau acara adat - simbol bahwa kerja keras dan waktu yang lama akan menghasilkan sesuatu yang bermakna.

Sebagai bagian dari menu MBG, sekubal sebenarnya sangat potensial. Ketan adalah sumber karbohidrat kompleks yang memberi energi tahan lama. Santan menambah rasa gurih sekaligus asupan lemak nabati yang dibutuhkan tubuh. Bila dipotong kecil, dikemas menarik, dan disajikan dengan lauk sederhana seperti tahu goreng, tempe, atau ikan kecil, sekubal bisa menjadi alternatif nasi yang tidak membosankan.

Masalah utamanya hanya pada proses produksi yang memakan waktu lama. Tapi ini bisa diatasi dengan pendekatan komunitas - melibatkan ibu-ibu sekolah, kelompok dapur lokal, atau UMKM kuliner setempat. Dengan begitu, sekubal bukan sekadar makanan, melainkan hasil gotong royong warga untuk memberi yang terbaik bagi anak-anak mereka.

Lebih dari sekadar gizi, sekubal membawa rasa rumah, rasa tanah sendiri.

Seruit Ringan: Rasa yang Menyambung Identitas

Kalau bicara Lampung, sulit memisahkan diri dari seruit. Hidangan ini biasanya berupa campuran ikan bakar atau goreng yang disajikan dengan sambal terasi khas Lampung, kadang dicampur tempoyak atau mangga muda. Rasanya pedas, asam, dan sedikit manis - cerminan karakter masyarakat pesisir yang terbuka dan hangat.

Tentu, untuk program MBG, versi seruit yang terlalu pedas tidak bisa disajikan langsung. Tapi kita bisa menciptakan “seruit ringan”: ikan goreng yang disuwir halus dengan sambal lembut tanpa cabai berlebihan, lalu dicampur sedikit perasan jeruk nipis untuk kesegaran rasa. Hasilnya tetap memiliki identitas rasa Lampung, tetapi aman dan ramah untuk lidah anak-anak.

Bayangkan sekubal dipadukan dengan tahu-tempe goreng hangat dan seruit ringan ini. Lengkap secara gizi - karbohidrat dari ketan, protein nabati dan hewani dari tahu-tempe dan ikan, lemak sehat dari santan, dan serat dari sambal buah. Lebih penting lagi: anak-anak belajar mencintai makanan khas daerah mereka sendiri.

Di titik inilah MBG punya peluang besar: bukan hanya memberi makan, tetapi juga menumbuhkan rasa bangga terhadap kekayaan kuliner lokal.

Getuk Lampung: Manisnya Tradisi yang Membahagiakan

Getuk Lampung warna-warni berbahan singkong, disajikan dengan taburan kelapa parut yang gurih. (Sumber: lydiajenny76)
Getuk Lampung warna-warni berbahan singkong, disajikan dengan taburan kelapa parut yang gurih. (Sumber: lydiajenny76)

Anak-anak suka rasa manis, dan Lampung punya versi khasnya: getuk Lampung. Terbuat dari singkong kukus yang ditumbuk dan dicampur dengan gula kelapa serta parutan kelapa muda, getuk menyimpan rasa sederhana tapi hangat. Teksturnya lembut, warnanya menggoda, dan aromanya mengingatkan pada masa kecil di desa.

Getuk bisa menjadi pilihan pencuci mulut dalam menu MBG. Ia tidak hanya memenuhi kebutuhan karbohidrat tambahan, tapi juga berperan sebagai “pengikat emosi” antara anak dan tradisi kuliner daerah. Bayangkan jika setiap kali menikmati getuk, anak tahu bahwa makanan itu bukan sekadar camilan, tapi bagian dari warisan nenek moyang yang perlu dijaga.

Versi modernnya bisa dikreasikan: getuk bentuk mini warna-warni, tanpa pewarna buatan, disajikan dalam porsi kecil yang menarik. Anak-anak pasti menyukainya - terutama jika sekolah memberi konteks cerita: “Ini lho, getuk dari Lampung, makanan dari singkong yang ditanam di tanah kita sendiri.”

Mengapa Menu Lokal Penting untuk Anak-anak

Kita sering mengukur gizi dari kandungan angka dan takaran, tapi melupakan unsur budaya dan psikologis dalam makanan. Anak-anak yang terbiasa dengan rasa lokal memiliki ikatan batin dengan lingkungannya. Mereka tahu bahwa pangan tidak hanya datang dari pasar besar atau kota lain, tetapi tumbuh di sekitar rumah, di kebun, di sawah, di ladang desa mereka sendiri.

Dengan menyajikan makanan khas daerah, MBG bisa sekaligus menjadi ruang belajar. Anak-anak bukan hanya makan, tetapi juga belajar tentang identitas, sejarah, dan keberlanjutan.

Mereka akan tahu bahwa ketan bukan hanya bahan kue, melainkan sumber energi yang diwariskan sejak lama. Bahwa singkong bukan makanan “murah”, melainkan pangan cerdas yang tahan cuaca dan ramah lingkungan.

Lebih jauh lagi, program MBG yang berbasis pangan lokal juga mendorong ekonomi daerah. Petani ketan, pengrajin kelapa, dan penjual singkong mendapat manfaat langsung. Setiap piring yang tersaji di sekolah adalah rantai nilai yang menghidupi banyak tangan.

Agar Anak Terbiasa dan Suka

Tantangan utama tentu pada penerimaan anak-anak. Mereka mungkin lebih akrab dengan nasi, ayam goreng, atau sosis instan. Karena itu, kuncinya bukan mengganti secara tiba-tiba, melainkan mengenalkan perlahan.

Mulai dari hari tematik, misalnya “Hari Pangan Lampung”, di mana sekubal disajikan satu kali dalam dua minggu. Tambahkan cerita singkat di kelas tentang asal-usul makanan itu. Libatkan guru dan orang tua dalam prosesnya. Anak yang tahu makna di balik makanan akan lebih menghargai dan menikmatinya.

Kedua, buat tampilannya menarik. Potongan sekubal bisa dibentuk mini, getuk diberi warna alami dari ubi ungu atau pandan, seruit disajikan dalam wadah kecil seperti sambal cocol. Presentasi yang ceria akan mengundang selera makan tanpa harus mengubah esensi tradisinya.

Ketiga, terus evaluasi. Dengarkan pendapat anak: apakah mereka suka rasanya, teksturnya, porsinya? Dari situlah inovasi bisa lahir. Sekubal bisa jadi dibuat versi lebih lembut, getuk dikurangi gulanya, atau sambal seruit dibuat lebih segar.

Makan Bergizi Gratis bukan hanya tentang memenuhi kebutuhan nutrisi, tapi juga tentang menumbuhkan kesadaran akan jati diri. Ketika anak-anak Lampung menyantap sekubal, seruit ringan, dan getuk di meja sekolah mereka, sesungguhnya mereka sedang belajar mencintai tanah tempat mereka berpijak.

Inilah pendidikan yang paling membumi: belajar lewat rasa, tumbuh lewat pangan sendiri. Karena pada akhirnya, piring yang bergizi tidak hanya mengenyangkan tubuh - tetapi juga menghidupkan ingatan, menumbuhkan kebanggaan, dan menanamkan cinta pada budaya sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun