"Untuk apa lelaki, kalau akhirnya membuat kita kehilangan kemandirian. Lagi pula belum tentu hidup saya bahagia bersamanya,"Â tegasnya.
Ucapannya itu bukan sekadar kalimat, tapi sebuah deklarasi kemandirian dan kebahagiaan yang datang dari rasa syukur.
Bagi Lastri, pernikahan bukan lagi tujuan. Bukan karena ia anti terhadap laki-laki, tapi karena ia sudah menemukan arti hidup yang lain: mencintai anak-anaknya sepenuh hati, dan membuktikan bahwa dirinya mampu berdiri tegak meski badai pernah meruntuhkan separuh hidupnya.
Kisahnya mengajarkan satu hal penting; kebahagiaan tidak selalu ditentukan oleh kehadiran pasangan. Ada kalanya, kebahagiaan lahir dari keteguhan hati, dari rasa syukur atas hal-hal kecil, dan dari keberanian untuk melangkah meski sendirian.
Selain Lastri, aku juga pernah bertemu single mom lain. Yang satu ini kisahnya lebih dahsyat lagi. Ia ditinggal suaminya yang meninggal di usia 41 tahun. Yang membuatku kagum, ia harus mengasuh lima orang anak. Lima! Anak-anaknya masih kecil-kecil, sebagian tinggal bersamanya, sebagian tinggal bersama nenek mereka.
Banyak orang mungkin akan patah ketika dihadapkan pada kenyataan seberat itu. Tapi tidak dengan dirinya. Ia memang seorang wanita karier, punya jabatan, dan cukup mapan. Namun, kematian suaminya justru membuatnya tumbuh semakin kuat. Ia tidak larut dalam duka berkepanjangan. Ia bangkit, mengatur ritme hidup, membagi waktu antara pekerjaan, anak, dan kini juga usaha yang ia tekuni.
Setiap pagi ada baby sitter yang datang membantu menjaga anak-anak saat ia bekerja. Sore hari, ia kembali mengambil peran penuh sebagai seorang ibu. Membagi tawa, mendengar cerita, sekaligus tetap menjalankan tanggung jawab sebagai kepala keluarga. Hidupnya memang tidak mudah, tapi ia menjalaninya dengan kepala tegak.
Kedua kisah single mom itu membuatku menyadari betapa banyak pelajaran hidup yang bisa dipetik. Pertama, kehilangan memang menyakitkan, tapi itu bukan akhir dari segalanya. Justru dari kehilangan, seseorang bisa menemukan kekuatan yang selama ini tersembunyi.
Kedua, cinta seorang ibu (atau ayah) kepada anaknya adalah energi terbesar yang bisa membuat mereka bertahan dalam situasi tersulit sekalipun. Dan ketiga, kemandirian adalah bentuk kebahagiaan yang sering kali lebih kokoh daripada sekadar bergantung pada orang lain.
Bagi kita yang masih muda, kisah-kisah ini adalah pengingat agar tidak mudah mengeluh. Banyak dari kita yang sering merasa hidup berat hanya karena masalah sepele. Padahal, ada orang-orang di luar sana yang memikul beban berlipat, namun masih bisa tersenyum, bahkan memberi semangat pada anak-anak mereka.
Menjadi orang tua tunggal memang tidak pernah direncanakan oleh siapa pun. Tidak ada yang bercita-cita membesarkan anak seorang diri. Tapi ketika keadaan memaksa, mereka membuktikan diri sebagai pahlawan keluarga sejati. Mereka bukan hanya kuat, tapi juga tulus, penuh cinta, dan tegar.