Pernah dengar istilah "Rabo Wekasan" atau "Rebo Pungkasan"? Setiap kali kalender Hijriah memasuki bulan Safar, obrolan tentang hari Rabu terakhir di bulan itu pasti kembali menghangat. Sebagian dari kita mungkin pernah mendengar nasihat dari orang tua atau kakek-nenek untuk lebih berhati-hati, tidak bepergian jauh, atau bahkan dianjurkan melakukan ritual tertentu pada hari itu.
Di beberapa daerah, tradisi ini masih kental terasa. Ada yang menggelar pengajian, membuat bubur khusus, hingga melaksanakan salat sunah yang dikenal sebagai salat tolak bala. Tujuannya satu: memohon perlindungan dari marabahaya yang konon katanya turun begitu banyak pada hari tersebut.
Di sisi lain, tidak sedikit juga yang bertanya-tanya, "Benarkah hari itu sebegitu menyeramkannya? Bagaimana pandangan Islam sebenarnya perihal bulan Safar dan Rabo Wekasan?"
Pertanyaan ini wajar, karena kita hidup di antara warisan tradisi dan tuntunan ajaran agama. Daripada terjebak dalam kebingungan atau saling menyalahkan, mari kita coba bedah bersama-sama fenomena ini dengan kacamata yang lebih jernih dan bijak.
Asal-Usul Stigma "Bulan Sial" pada Bulan Safar
Untuk memahami Rabo Wekasan, kita perlu mundur sejenak ke akar masalahnya: mengapa bulan Safar sering dianggap sebagai bulan yang kurang baik?
Menurut Muhammad Beni Mahmudi, seorang kader muda Nahdlatul Ulama (NU) dalam sebuah podcast yang ditayangkan oleh NU Online - stigma ini sebenarnya adalah warisan dari zaman jahiliah, masa sebelum Islam datang.
Imam Ibnu Katsir, seorang ahli tafsir terkemuka, menjelaskan bahwa nama "Safar" sendiri berasal dari kata shifr yang berarti 'kosong'. Dinamai demikian karena pada bulan itu, penduduk Makkah biasanya mengosongkan rumah-rumah mereka untuk pergi berperang atau melakukan perjalanan jauh.
Jadi, penamaan bulan ini murni berdasarkan kebiasaan sosial masyarakat saat itu, bukan karena bulan itu sendiri membawa kesialan. Namun, kepercayaan bahwa Safar adalah bulan penuh bencana terlanjur melekat dan diwariskan turun-temurun, bahkan setelah ajaran Islam datang.
Salat Tolak Bala: Antara Tradisi dan Syariat