Kemarin, saat sedang merapikan beberapa barang di kamar belakang, saya menemukan harta karun yang tak terduga: sebuah botol plastik berwarna putih susu dengan tutup hitam, yang dulu sering saya lihat di puskesmas, penuh berisi kepingan uang logam yang sudah tidak lagi beredar dan tidak lagi digunakan sebagai alat pembayaran.
Sejenak, saya terdiam. Kilasan memori langsung menyerbu pikiran, membawa saya kembali ke masa-masa kecil yang begitu membahagiakan.
Botol ini adalah peninggalan almarhum Bati, begitu saya memanggil bapak saya. Â Beliau memang punya kebiasaan mengumpulkan uang koin. Ada koin 25 rupiah bergambar komodo, 50 rupiah bergambar burung cendrawasih, 100 rupiah dengan ukiran karapan sapi dan rumah gadang, 500 rupiah bercorak melati, dan yang paling mencuri perhatian, koin 1.000 rupiah bergambar kelapa sawit yang ikonis.
Satu per satu saya keluarkan, meraba tekstur dan coraknya yang sudah sedikit usang. Aroma nostalgia langsung tercium. Saya teringat, dulu botol ini sering teronggok di sudut ruang farmasi puskesmas. Kini, entah kenapa, botol-botol itu sudah sangat jarang terlihat. Mereka seperti ikut hilang bersama kenangan masa lalu yang kian pudar.
Sekeping Seratus Perak yang Begitu Berharga
Masa kecil itu memang luar biasa, ya. Hidup terasa begitu sederhana, tanpa beban, dan kebahagiaan itu sangat mudah dicari. Hanya dengan sekeping uang 100 rupiah, dunia seolah-olah ada di genggaman. Uang koin 100 rupiah bergambar karapan sapi yang berwarna emas itu, dulu adalah kepingan paling berharga.
Dengan uang 100 rupiah saja, jajanan di kantin sekolah bisa terasa melimpah. Saya bisa membeli beberapa buah pisang goreng, sepotong bakwan (bala-bala), atau bahkan mendapatkan sebungkus kerupuk putih berukuran besar yang kalau dibeli sekarang ukurannya sudah menyusut jauh. Kerupuk itu bukan sekadar camilan, tapi bisa menjadi lauk andalan saat jam makan.
Bicara soal kerupuk, saya jadi ingat. Seiring dengan naik-turunnya nilai rupiah, ukuran dan harganya ikut berubah. Kerupuk putih yang dulu begitu besar, kini menjadi lebih kecil dengan harga yang jauh lebih mahal. Fenomena ini menunjukkan bagaimana zaman telah berubah.
Tentu saja, bukan hanya kerupuk. Dengan uang 100 rupiah saya juga bisa membeli es kado, es lilin dengan rasa cokelat, kacang hijau, atau alpukat. Kadang kalau lagi mau sesuatu yang gurih, saya bisa beli mie kremes yang bumbunya aduhai menggoyang lidah, bahkan yang paling ditunggu-tunggu ialah komik lipat sebagai hadiah di dalamnya.Â
Cerita-cerita di komik itu beragam dan ada serinya. Selain desainnya yang menarik, kisah di dalamnya juga banyak mengandung pelajaran yang mendidik.