Film animasi Merah Putih: One For All menjadi perbincangan hangat di kalangan penggemar film, bahkan sebelum resmi tayang di bioskop. Beragam respons, mulai dari antusiasme hingga kritik tajam, mewarnai jagat maya. Namun, tak sedikit dari kita yang memilih untuk tidak menontonnya di layar lebar, termasuk saya. Alasan utamanya sederhana: trailer yang beredar luas di media sosial sudah lebih dari cukup untuk menimbulkan keraguan.
Daripada membuat ulasan film yang tidak saya tonton, lebih baik kita bedah saja apa yang bisa kita lihat dari 'jendela' kecil yang disediakan - yaitu trailernya. Ulasan ini akan membahas mengapa film ini terasa kurang 'menggigit' sejak awal, berdasarkan apa yang terlihat dan kabar yang beredar di masyarakat.
Kualitas Visual dan Isu Plagiat
Sejatinya, trailer berfungsi sebagai etalase yang memikat penonton. Sayangnya, trailer Merah Putih: One For All gagal menjalankan tugas ini dengan baik. Hal pertama yang langsung terasa adalah kualitas visualnya.
Dibandingkan dengan animasi-animasi lokal, bahkan yang bisa kita tonton gratis di YouTube, visualnya terasa jauh di bawah standar. Gerak-gerik karakter yang kaku, desain yang kurang hidup, hingga lingkungan yang terkesan buru-buru, semua memberikan kesan bahwa film ini dikejar target waktu.
Selain itu, yang paling mengkhawatirkan adalah isu plagiarisme. Kabar ini bukan sekadar gosip. Beberapa karakter di film ini diduga kuat merupakan jiplakan dari karya-karya animator luar negeri.
Ini bukan hanya soal etika, tapi juga soal integritas. Bagaimana sebuah karya yang seharusnya mengangkat nama bangsa, justru dimulai dengan 'pinjaman' ide tanpa izin? Trailer yang ada seolah membenarkan dugaan ini, menunjukkan beberapa desain yang terasa tidak orisinal dan familiar.
Kesan Setelah Menonton dan Alur Cerita yang Kacau
Setelah melihat trailer, rasa dan kesan yang tertinggal bukanlah rasa penasaran, melainkan kebingungan. Kabar dari beberapa penonton perdana juga semakin memperkuat keraguan ini.
Menurut mereka, film ini terasa "setengah-setengah". Alur ceritanya melompat-lompat tanpa transisi yang jelas, membuat penonton sulit terhubung dengan narasi. Ada yang sampai bergurau, sepanjang film mereka dibuat tertawa bukan karena adegan yang lucu, melainkan karena keanehan dan ketidaklogisan cerita.