Mohon tunggu...
Disisi Saidi Fatah
Disisi Saidi Fatah Mohon Tunggu... Blogger

Cendekia Al Azzam - Penyuka warna biru yang demen kopi hitam tanpa gula | suka mengabadikan perjalanan melalui tulisan untuk dikenang di kemudian hari | Suka Buku dan Film

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Kerja Bareng Saudara: Harmoni Keluarga atau Ladang Konflik?

24 Juli 2025   16:17 Diperbarui: 24 Juli 2025   16:21 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kerja bareng saudara: peluang atau konflik? Simak ulasan bijak tentang batas profesional & keluarga. (Sumber foto: Pixabay.)

Di banyak keluarga Indonesia, terutama yang tinggal di daerah atau menjalankan usaha turun-temurun, bekerja bersama saudara bukan hal asing. Ada warung yang dikelola adik-kakak, ada bisnis konveksi yang dibesarkan bersama ipar, atau kantor kecil yang dimodali orang tua dan dijalankan oleh anak-anaknya.

Dari luar, ini tampak harmonis — satu keluarga, satu tujuan. Tapi di baliknya, banyak cerita soal rasa sungkan, miskomunikasi, bahkan luka yang tak mudah disembuhkan.

Pertanyaannya: apakah hubungan darah membuat kerja sama lebih mudah, atau justru lebih rawan konflik? Yuk kita bahas!

Kelebihan: Sudah Saling Kenal, Lebih Cepat Nyambung

Salah satu keuntungan utama bekerja dengan saudara adalah adanya rasa percaya yang sudah terbentuk. Kita tidak perlu adaptasi terlalu lama karena sudah tahu gaya komunikasinya, kelemahannya, dan cara menghadapinya. Hal ini bisa menghemat waktu dalam menyamakan visi dan pola kerja.

Dalam budaya timur, terutama Indonesia, hubungan emosional sering menjadi fondasi kerja sama. Saudara dipercaya karena sudah “dikenal luar dalam”. Dalam situasi darurat, ikatan keluarga bisa menjadi penyelamat, misalnya saat ada krisis finansial atau butuh dukungan ekstra. Kepedulian dan loyalitas sering tumbuh dari darah yang sama.

Tantangan: Ketika Urusan Pribadi dan Profesional Bercampur

Namun, keakraban ini juga bisa menjadi bumerang. Dalam ruang kerja yang ideal, kritik dan evaluasi seharusnya dilakukan secara objektif. Tapi ketika yang dikritik adalah adik sendiri, atau kakak ipar, nada suara dan pilihan kata bisa disalahartikan. Teguran dianggap personal, bukan profesional.

Di sinilah mulai muncul ketegangan. Hierarki bisa menjadi bias, terutama jika ada perbedaan usia atau status dalam keluarga. Saudara yang lebih tua mungkin merasa lebih pantas memimpin, walau kompetensinya belum tentu lebih baik. Bahkan, perbedaan pendapat biasa pun bisa merembet ke konflik keluarga, memperburuk suasana rumah.

Hal yang lebih rumit lagi: jika orang tua ikut campur. Ini sering terjadi dalam bisnis keluarga. Orang tua yang berniat mendamaikan justru bisa memperkeruh, terutama jika dianggap tidak adil. Konflik kecil bisa jadi warisan dendam bertahun-tahun jika tidak dikelola dengan bijak.

Profesional dengan Orang Luar: Lebih Jelas, Tapi Tak Selalu Lebih Aman

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun