Kita hidup di zaman yang setiap harinya seperti dikomando untuk lebih. Lebih kaya, lebih cantik, lebih cepat, lebih sukses. Bahkan bahagia pun harus lebih bahagia dari orang lain, biar bisa dipamerkan di story 24 jam. Padahal, kenyataannya banyak dari kita yang hidupnya biasa-biasa saja. Pas-pasan. Gaji pas untuk makan. Waktu pas untuk istirahat. Dan cinta, ya… pasrah aja kalau belum jodoh.
Tapi apakah hidup pas-pasan itu kutukan? Atau justru berkah yang belum kita pahami bentuknya?
Buku “Berdamai dengan Hidup Pas-Pasan” karya Rofi Ali Majid adalah cermin yang jujur sekaligus jenaka. Ia tidak menyuruh kita kaya, tapi juga tidak menyuruh kita miskin. Ia hanya mengajak kita untuk berdamai: dengan keadaan, dengan harapan, dan yang terpenting — dengan diri sendiri.
Just Enough, Nggak Usah Pakai Drama
Buku ini menyodorkan filosofi yang sangat membumi: cukup itu cukup. Kalau lagi bahagia, ya bahagia aja. Nggak usah sampai nyewa private jet buat story. Kalau sedih, ya sedih aja. Nggak usah pakai backsound slow-motion dan lampu remang-remang. Karena hidup kita bukan sinetron. Dan kalau marah? Ya silakan. Tapi jangan sampai lempar-lempar galon, apalagi harga galon sekarang juga ikut naik.
Prinsip just enough ini terdengar sederhana, tapi sesungguhnya adalah bentuk kedewasaan yang jarang dipraktikkan. Kita terbiasa didorong untuk reaktif, bukan reflektif. Semua emosi harus diekspresikan maksimal, padahal sering kali yang kita butuhkan cuma jeda. Diam sebentar. Lihat ke dalam. Rasakan cukup.
Dari Koleksi Benda ke Koleksi Makna
Salah satu bagian menarik dari buku ini adalah ketika membahas kebiasaan manusia yang gemar mengoleksi. Benda-benda, barang, status sosial. Kita sering berpikir makin banyak punya, makin banyak bahagia. Tapi nyatanya, makin penuh rumah, makin sumpek kepala.
Kita mengoleksi untuk diakui, tapi sering lupa mengoleksi makna untuk diri sendiri. Dan, ketika hidup mengajarkan kita pas-pasan, sesungguhnya kita sedang dipaksa belajar memilah: mana yang benar-benar penting, dan mana yang cuma “latah sosial”.
Seperti kata penulis, “Mengapa kita sibuk menjadi seperti yang diinginkan orang lain, padahal kita bahkan belum sempat menjadi diri sendiri?”