Oleh: Cendekia Alazzam (DSF)
Dalam semesta literasi Indonesia, Tere Liye selalu hadir dengan gaya bercerita khas - emosional, padat makna, dan kerap menyentil realita sosial. Kini, melalui novel Sebelas yang diterbitkan melalui Sabakgrip tahun 2024, ia mengangkat dunia sepak bola remaja, membungkusnya dalam kisah persahabatan, perjuangan, dan kritik yang halus tapi menggigit. Di tengah euforia sepak bola nasional, Sebelas tampil bukan sebagai dongeng semata, melainkan cermin tajam: bahwa prestasi Garuda tak bisa lepas dari fondasi akar rumput.
Sebuah Laga Panjang Bernama Kehidupan
Novel setebal 442 halaman ini membuka lembaran dengan sosok Paul, mantan wonderkid Eropa yang kini hidup dalam keterpurukan di Bali. Mabuk, dikejar utang, bahkan over-stay visa. Tak disangka, pertemuan konyol dengan Pak Made, pelatih tim RW setempat, menjadi titik baliknya. Paul kembali menyentuh bola - secara harfiah dan metaforis - dan menemukan cahaya baru dalam diri Samosir, bocah 12 tahun yang menjemur kaus seindah ia menendang bola.
Sementara itu, bayang-bayang masa lalu muncul lewat sosok David Champione, rival abadi Paul yang kini melatih tim elite Eropa. David menantang Paul: raciklah tim anak-anak dari nol, dan buktikan di panggung internasional. Maka dimulailah perburuan bakat yang penuh warna - dari pegunungan Papua hingga desa santri di Jawa. Setiap tempat menyimpan tantangannya: larangan orang tua, tradisi lokal, bahkan konflik ideologis.
Cermin Realita Sepak Bola Indonesia
Lewat konflik yang dibalut jenaka dan emosional, Tere Liye menyajikan potret nyata dunia sepak bola Indonesia. Lapangan seadanya, pejabat daerah yang menghambat, sekolah sepakbola (SSB) minim fasilitas, hingga persoalan visa yang menggagalkan uji coba luar negeri - semua muncul dalam dialog maupun aksi tokohnya. Kritiknya tajam, tetapi tak berkhotbah. Justru di balik narasi fiksi ini, pembaca bisa merenung: betapa sulitnya membentuk satu tim ideal di negeri seluas ini, bahkan ketika bakat berserakan di mana-mana.
Pesan utamanya jelas: pembinaan berjenjang adalah kunci prestasi. Dalam fiksi ini, Paul dibantu tokoh dermawan Pak Hartawan, sosok pemilik 300 SSB. Namun dunia nyata tak semudah itu. Maka buku ini seolah menyodorkan pertanyaan reflektif: sudahkah kita serius membina sejak dini?
Keunggulan novel ini terletak pada narasi yang cepat namun tetap emosional. Paul bukan protagonis heroik ala film Hollywood. Ia kompleks: pemarah, sinis, tetapi belajar dan bertumbuh. Tim anak-anak yang dikumpulkannya pun beragam: Nyoman, Kadek, Lorentz, Semeru, Gadang - nama-nama yang mencerminkan kemajemukan Indonesia di ruang ganti.
Detail sepak bolanya terasa nyata: formasi latihan, dinamika seleksi, bahkan drama antar-SBB disusun dengan riset matang. Pace-nya cepat, cliffhanger antar bab terjaga, dan yang terpenting: selalu ada harapan dalam konflik.
Novel Sebelas ini sangat relevan untuk pembaca usia 15 tahun ke atas, terutama mereka yang tumbuh bersama bola: baik sebagai pemain, pelatih, penonton, atau pemimpi. Novel ini juga patut dibaca para pejabat olahraga - agar tahu bahwa di balik tribun selfie, ada kerja keras yang tak terlihat di kampung-kampung kecil.
“Saat pejabat menggunakan sepak bola sebagai alat politik, kita lupa hal paling mendasar untuk meraih prestasi: pembinaan.” (hal. 397)
Meski ada beberapa istilah asing yang terasa kurang penting (“freelancer guide”), dan latar belakang Paul di Eropa tak digarap terlalu dalam, kekuatan novel ini tetap utuh. Ia menyentuh hati, membuka mata, dan menyulut mimpi. Rating dariku untuk novel ini 4,5/5.0.
Ketika halaman terakhir ditutup, hanya satu harapan tersisa: semoga di dunia nyata, ada sebelas anak yang benar-benar lahir dari misteri takdir dan mengguncang stadion dunia. Merah putih di dada - bukan sekadar di judul novel semata.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI