"Aku masih ingat saat Bram membentakku. Aku juga masih ingat saat Bram malu jalan denganku bahkan aku masih ingat ketika Bram tak mau aku ada di dekatnya."
"Kau malu?"
"Aku hina."
"Kau masih mau bertahan?"
"Aku terlalu cinta."
"Kau mau mengulangi kebodohanmu?"
Kupandangi helaian daun Palem yang batangnya sempat kutinggalkan setahun yang lalu.
"Dengar Dru, jika dia untukmu pasti akan menjadi milikmu. Tapi jika dia tidak bergerak, apa kau yakin Tuhan tidak bingung dengan doamu?"
"Tuhan maha mengetahui, kenapa harus bingung."
"Bram punyamu tidak bergerak. Percuma kau berbusa doa. Dia masih di sana."
"Tapi aku sayang padanya. Aku begitu mencintainya."
"Dia tidak Dru. Dia tidak mencintaimu dengan penuh. Kau hanya sebuah intermezzo untuk hidupnya. Kau pergi saja tak akan dia cari. Percaya padaku."
Dru menapakkan kakinya menaiki anak tangga menuju jembatan penyebrangan yang konon sukses untuk membantu hamba Tuhan yang kekurangan iman habiskan sisa umurnya.
"Aku pernah di sini. Saat aku menyadari kebodohanku. Aku pernah di sini saat aku begitu tolol masih mengharapkan kehadiranmu. Aku pernah di sini saat aku masih berharap bahwa kau adalah mahluk Tuhan yang telah mengarungi samudera lalu terbawa angin menuju rumahmu yang sesungguhnya."
Petir bersahutan, hujan tiba-tiba lebat. Gelegar suara hujan mengganggu konsentrasi Dru untuk akhiri hidupnya sore itu. Dru terpeleset, kepalanya terbentur dan darah segar menetes pelan dari keningnya.
"Untunglah perempuan ini terpeleset, tak sempat kakinya menaiki pembatas besi jembatan penyeberangan itu. Jika saja tak ada petir, mungkin dia sudah terjatuh tepat di atas aspal hitam di bawah sana."