Mohon tunggu...
Cika
Cika Mohon Tunggu... Tutor - ...

No me gusta estar triste . Pecinta "Tertawalah Sebelum Tertawa Itu Dilarang" #WARKOP DKI . Suka menjadi pekerja tanpa melewati titik kodrat wanita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Pernah di Sini

6 Desember 2020   22:29 Diperbarui: 6 Desember 2020   23:23 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
image by pixabay.com

Waktu itu, matahari sudah mau pergi. Aku suka warnanya, kemerahan.

Dia masih berlama-lama, jam di pergelangan tanganku menunjukkan pukul lima lewat dua puluh menit.

Pikiranku terlalu kalut, yang ada hanya Bram dan Bram.

Sial, dari sekian banyak laki-laki dan aku masih saja berkutat mengenai Bram. Otakku ada yang tidak beres sepertinya.

"Matahari, aku tahu kamu sedang temani aku. Tapi aku mau kamu segera pamit. Dari tadi aku sudah ingin mengeluarkan air mata dan kau masih saja menggodaku."

Dru tak tahan lagi, dada yang semakin sesak, kesal yang semakin memuncak dan tangis yang sudah tak bisa dibendung.


Kata-kata Bram terus mengganggu pikiran Dru.

"Kamu tidak paham ya mauku. Aku sedang bermasalah."

Oke Bram. Aku paham, sangat paham. Betapa rendahnya aku di matamu. Betapa tidak pentingnya aku di hidupmu. Betapa tak bernilainya aku dalam keseharianmu.

Daun-daun pohon Palem berisik mengganggu konsentrasi Dru. Warnanya yang sudah tidak hijau lagi semakin mempertegas bahwa bukan saja matahari yang akan meninggalkan Dru, namun nyawa dari barisan daun palem yang sebentar lagi akan hilang tertiup angin.

"Dru, kami kurang apa berdoa pada Tuhan. Kami inginnya tetap di sini. Menaungi orang-orang yang sedang menunggu Bus lewat adalah keseharian kami yang paling kami suka. Apalagi saat angin sepoi-sepoi mengajak kami bermain, abang-abang pedagang kopi rebutan untuk duduk dekat kami, bagi mereka sapuan angin yang kami lakukan dapat membuat penat mereka segera hilang hanya dalam waktu sekejap."

"Aku tidak paham dan aku sedang tidak mau memahami siapapun."

"Kami kira kau pintar, rupanya kau bodoh juga."

Dru kernyitkan dahinya. Kurang ajar sekali dedaunan ini, umurnya saja sebentar lagi habis, bisa-bisanya khutbah panjang lebar mengenai doa pada Tuhan.

"Kalian sindir aku?"
"Bukan Dru, kami hanya ingatkan kau. Jika Tuhan berkehendak apapun bisa terjadi."
"Kalau itu aku juga tahu."
"Lantas kenapa kamu masih berdiri di sini. Naik bus tidak, menunggu orang tidak malah kau habiskan waktumu keluarkan ingus dan air mata. Basi Dru."
"Aku sedang sedih. Bram yang aku puja, tiba-tiba memintaku untuk tidak lagi di dekatnya. Dia pikir dia siapa, dia pikir aku siapa?."
"Memang kamu siapa Dru. Salah si Bram minta kau pergi?"

"Jelas dong. Memang aku tak ada harganya sama sekali?. Sampai mudah sekali Bram minta aku untuk pergi."

"Sudah lah Dru. Toh kau pun main-main saja dengan Bram."
"Kamu itu siapa?. Kamu tahu apa? Aku itu benar-benar cinta pada Bram."
"Salah orang kamu. Kalau kau masih saja menangis karena dia, untuk apa kau ulang periode drama kehidupanmu?"

Dru terhenyak. Iya, jika Bram masih bisa membuat aku menangis, maka aku salah orang. Dan ini memang salahku. Sudah tahu Bram tak bisa ambil keputusan untukku, kenapa aku harus ngotot untuk menunggu Bram.

Dru urungkan niatnya untuk habiskan umurnya sore itu. Dru mempersilakan daun-daun Palem untuk berangkat lebih dulu.

"Aku perempuan hebat. Walau senyumku berisi tangis, walau kuatku berisi kelemahan dan walau tegarku adalah sayatan luka, aku masih bisa berdiri tegak. Aku yakin Tuhan akan berikan pasangan paling baik untukku."
"Kau sudah mulai pintar ya Dru. Kami pamit."

Satu persatu daun meranggas. Meninggalkan rangka pada batang coklat kekuningan. Jelek sekali jejaknya. Aku tak mau seperti mereka. Kelak saat aku mulai meranggas, akan aku tinggalkan jejak yang super indah. Jika tak ada yang berkenan mendampingiku, aku akan berjalan saja sendiri.

Lebih dari satu jam Dru berkeliling tidak tentu arah dan tak ada pesan apapun dari Bram. Bram sibuk dengan masalahnya, dia lupa bahwa seorang Dru sangat mengharapkan kehadirannya.

"Aku masih ingat saat Bram membentakku. Aku juga masih ingat saat Bram malu jalan denganku bahkan aku masih ingat ketika Bram tak mau aku ada di dekatnya."
"Kau malu?"

"Aku hina."
"Kau masih mau bertahan?"
"Aku terlalu cinta."

"Kau mau mengulangi kebodohanmu?"

Kupandangi helaian daun Palem yang batangnya sempat kutinggalkan setahun yang lalu.

"Dengar Dru, jika dia untukmu pasti akan menjadi milikmu. Tapi jika dia tidak bergerak, apa kau yakin Tuhan tidak bingung dengan doamu?"

"Tuhan maha mengetahui, kenapa harus bingung."
"Bram punyamu tidak bergerak. Percuma kau berbusa doa. Dia masih di sana."

"Tapi aku sayang padanya. Aku begitu mencintainya."
"Dia tidak Dru. Dia tidak mencintaimu dengan penuh. Kau hanya sebuah intermezzo untuk hidupnya. Kau pergi saja tak akan dia cari. Percaya padaku."

Dru menapakkan kakinya menaiki anak tangga menuju jembatan penyebrangan yang konon sukses untuk membantu hamba Tuhan yang kekurangan iman habiskan sisa umurnya.

"Aku pernah di sini. Saat aku menyadari kebodohanku. Aku pernah di sini saat aku begitu tolol masih mengharapkan kehadiranmu. Aku pernah di sini saat aku masih berharap bahwa kau adalah mahluk Tuhan yang telah mengarungi samudera lalu terbawa angin menuju rumahmu yang sesungguhnya."

Petir bersahutan, hujan tiba-tiba lebat. Gelegar suara hujan mengganggu konsentrasi Dru untuk akhiri hidupnya sore itu. Dru terpeleset, kepalanya terbentur dan darah segar menetes pelan dari keningnya.

"Untunglah perempuan ini terpeleset, tak sempat kakinya menaiki pembatas besi jembatan penyeberangan itu. Jika saja tak ada petir, mungkin dia sudah terjatuh tepat di atas aspal hitam di bawah sana."

"Apa dia baik-baik saja Dok?"
"Mana ada orang terpeleset bersimbah darah baik-baik saja. Aku rasa kamu yang tidak baik-baik saja. Otak dan matamu agak sedikit buram."

Bram terdiam. Tak ada sedikitpun kata yang keluar dari mulut Bram.

Dru perhatikan Bram dengan telinga yang telanjur terendam cacian dari Bram.

"Bram, aku membutuhkanmu. Namun jika aku berulang memohon padamu dan kau tak pernah menggubrisnya. Aku pergi."

Bram menoleh pada Dru yang masih belum sadar sedari tadi.

"Aku pernah di sini. Dan aku bosan di sini. Bosan pada fase mengeluh dan menangisi kehidupanku. Aku mau bahagia. Jika kau tak bisa, akan kucari mahluk Tuhan yang dapat membahagiakanku, lahir dan bathin."

Bram tak mendengarkan Dru. Mungkin tak merasakan perasaan Dru. Dia terlalu sibuk dengan segala kesibukan yang Dru coba pahami. Seandainya saja, nama Bram bukan nama yang paling atas muncul di whastapp Dru, mungkin orang yang menemukan Dru tak akan hubungi Bram. Mungkin saat ini Bram pun akan biasa saja melihat kondisi Dru.

Ah, persetan dengan segala prasangkaku. Aku pernah di sini, saat aku terjatuh dan mulai bangkit lagi. Aku tahu aku bisa. Maka dengan segala kekuatanku akan aku hapus Bram secara perlahan, jika mukzizat tentang cinta darimu tak akan pernah ada untukku.

#Bandung, 06 Desember

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun