Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - suka nulis dan ngedit tulisan

Ninik Sirtufi Rahayu, (Ni Ayu), gemar disapa Uti. Lahir 23 November di Tulungagung, domisili di Malang, Jawa Timur.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Manfaat Membaca: Masih Terpatri di Sini

5 Mei 2024   14:10 Diperbarui: 5 Mei 2024   14:11 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Manfaat Membaca: Masih Terpatri di Sini

Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

 

 

 

I love to read. I wish I could advise more people to read. There's a whole new world in books. If you can't afford to travel, you travel mentally through reading. You can see anything and go any place you want to in reading. (Michael Jackson)

(Saya suka membaca. Saya berharap saya dapat menyarankan lebih banyak orang untuk membaca. Ada dunia baru dalam buku. Jika Anda tidak mampu untuk bepergian, Anda melakukan perjalanan secara mental melalui membaca. Anda dapat melihat apa saja dan pergi ke mana saja yang Anda inginkan dalam membaca.)

Lahir  akhir 1957 saya sempat menangi (Jw: mengalami) zaman rekasa (Jw: sulit). Saat  terjadi pergolakan yang terkenal dengan G-30-S PKI saya berusia sembilan tahun, duduk di kelas 3 Sekolah Dasar. Yang saya ingat saat itu, kehidupan begitu sulitnya. Keluarga tidak bisa makan nasi karena beras tidak ada. Kalau pun ada, harganya sangat mahal sehingga tidak terbeli.

Saat itu saya diasuh dan tinggal bersama kakek nenek di sebuah desa. Kakek pensiunan kepala sekolah, sementara nenek hanya sebagai ibu rumah tangga biasa. Namun, rumah kakek nenek lumayan besar. Dengan kamar sepuluh bisa digunakan sebagai indekos, baik guru maupun siswa SPG (Sekolah Pendidikan Guru).  

Setiap hari, jika hendak makan nasi jagung, kami termasuk saya tentunya, harus menumbuk biji jagung sehingga menjadi butiran lebih kecil. Sering pula menumbuk bukan hanya jagung, melainkan juga gaplek, kemudian tepung singkong yang dijemur tersebut diolah menjadi pengganti nasi. Nasi gaplek terkenal dengan istilah tiwul. Dibandingkan nasi tiwul, menurut saya masih enak makan nasi empok yang terbuat dari jagung. Namun, jujur menumbuk kedua bahan pangan tersebut membuat telapak tangan panas dan mengelupas. Lauknya? Begitu ekstrem! Saya harus mencari ikan di rolak (pintu air) dengan cara memasang perangkap terbuat dari alat berbahan anyaman bamboo. Hasilnya? Ada wader, ikan kecil-kecil yang cukup sebagai teman nasi. Kadang juga ulat pohon bunga turi, laron, larva tawon atau lebah madu, kepompong ulat bulu api, bahkan hingga gangsir, hewan sebangsa jengkerik.  Hewan-hewan ini biasa digoreng tanpa minyak di belanga tanah liat. Rasanya? Gurih sekali! Mungkin sangat aneh bagi generasi milenial saat ini. Namun, begitulah kenyataannya!

Setiap sore bersama teman-teman kecil sebaya, saya selalu antre minyak tanah sebagai bahan penerangan. Dengan jumlah sepuluh kamar, tentu satu liter minyak tanah tidak mencukupi sehingga kakek nenek selalu membeli minyak tanah jatah milik tetangga. Para tetangga cukup menggunakan ublik, pelita kecil home made yang terbuat dari kaleng bekas, tutupnya dilubangi untuk meletakkan sumbu sehingga bisa menjadi pelita di malam gelap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun