Kekosongan Pengaruh dan Bayang-Bayang Kabinet
Dalam satu tahun terakhir, tidak ada inisiatif signifikan yang dapat diatributkan langsung kepada Gibran. Tak ada program besar, tak ada arah kebijakan yang menunjukkan jejak tangannya.
Meskipun sejumlah loyalis Jokowi masih duduk di dalamnya, makna kehadiran sang wakil presiden nyaris nihil di kabinet. Situasi ini melahirkan kekosongan pengaruh: jaringan lama Jokowi masih aktif, tapi kehilangan pusat koordinasi yang hidup.
Kehadiran sejumlah figur loyalis Jokowi di kabinet memang sempat memberi kesan bahwa Jokowi masih "mengendalikan" pemerintahan lewat proksi.
Tapi, dalam praktiknya, keberadaan mereka lebih seperti sisa-sisa struktur lama yang bertahan tanpa arah baru. Mereka kehilangan momentum karena Gibran tak mampu menjadi simpul politik yang memberi arah, visi, atau kejelasan posisi.
Dalam sistem politik yang berbasis hierarki, ketidakmampuan mengartikulasikan peran bisa berarti kehilangan legitimasi. Gibran menjadi semacam "ruang kosong" di puncak negara: memiliki posisi, tapi tak mampu menjadi pusat gravitasi.
Ia gagal bukan karena diserang, melainkan karena tidak kapabel. Dalam politik, diam tidak selalu berarti bentuk kehati-hatian, tapi tanda kehilangan daya.
Akibatnya, Jokowi semakin terdesak pada dua pilihan yang sama-sama berisiko: membiarkan Gibran berjalan dengan kapasitas minim, atau turun tangan langsung untuk menyelamatkan citra dinastinya.
Masalahnya, pilihan pertama membuat dinasti tampak lemah; pilihan kedua membuat Jokowi terlihat enggan berhenti berkuasa. Dalam dilema ini, yang kalah justru bukan hanya Gibran, tapi seluruh proyek politik keluarga Jokowi.
Demonstrasi Agustus: Ujian Nyata yang Membuka Peta Baru
Demonstrasi besar-besaran pada akhir Agustus hingga awal September 2025 menjadi titik balik bagi pemerintahan Prabowo-Gibran.