Gelombang protes itu bukan hanya mengguncang legitimasi pemerintah, tapi juga membuka peluang bagi Jokowi untuk kembali memainkan peran politik di tengah ketegangan nasional.
Di tengah kerusuhan, ada kelompok relawan Jokowi yang bergerak cepat memunculkan narasi bahwa "Prabowo gagal menjaga stabilitas."
Jika situasi itu tidak ditangani dengan cepat, Jokowi bisa dengan mudah memanfaatkan kekacauan itu untuk merebut kembali kendali opini publik.
Tapi, Prabowo bergerak gesit: menampilkan diri sebagai pemimpin yang tegas sekaligus rasional, mempercepat konsolidasi kebijakan ekonomi, dan mulai menggeser poros pengaruh di dalam kabinet.
Dalam momen genting itu, peran Gibran nyaris tak terdengar. Tidak ada pernyataan politik yang berarti, tidak ada simbol kehadiran negara yang muncul dari dirinya.
Dia justru melakukan blunder ketika melakukan pertemuan dengan sejumlah pengemudi ojol yang kemudian terbukti bukan representasi yang diakui.
Makna kehadirannya pun seketika bangkrut di mata publik sehingga semakin menegaskan jarak antara posisi dan kapasitasnya.
Sebaliknya, publik justru melihat munculnya figur lain yang tampil efektif dan konkret: Purbaya Yudhi Sadewa, sosok yang menjadi tangan teknokratik utama Prabowo dalam menata ulang arah ekonomi nasional pasca-krisis.
Dari sinilah konstelasi baru mulai terbentuk. Prabowo menemukan tandem sejati yang bukan hanya loyal, tapi juga kapabel. Dalam bayang-bayang kekosongan pengaruh Gibran, muncul figur yang menegaskan pergeseran perimbangan kekuasaan.
Dan, pada saat peran Purbaya semakin menguat, kelompok relawan Jokowi yang lain muncul ke permukaan dengan membawa pesan yang diklaim berasal langsung dari Jokowi: bahwa pasangan Prabowo-Gibran perlu didukung hingga dua periode.
Sekilas pesan itu terdengar seperti dukungan, tapi sesungguhnya memperlihatkan dua hal.