Dari Dinasti Menuai Dilema
Kemenangan pasangan Prabowo-Gibran pernah dirayakan sebagai kemenangan politik lintas generasi: seorang jenderal senior dengan seorang anak muda yang dianggap mewakili kesinambungan Jokowi.
Namun, setelah satu tahun berkuasa, narasi besar itu mulai runtuh. Yang tersisa kini hanyalah dilema.Â
Di satu sisi, Jokowi masih berusaha menjaga pengaruhnya melalui Gibran. Di sisi lain, Prabowo mulai menata kekuasaannya sendiri, lengkap dengan ide ekonomi dan tim politik yang semakin mandiri.
Sementara itu, di antara keduanya, Gibran tak kunjung tumbuh menjadi figur yang mampu menjembatani dua kepentingan besar itu.
Beban reputasi sebagai "anak presiden" kini telah berubah menjadi beban suksesi yang gagal dijalankan. Gibran tak hanya menanggung ekspektasi ayahnya, tapi juga ekspektasi publik yang menuntutnya membuktikan kapasitas politik yang nyata.
Selama satu tahun pertama, ia tidak berhasil menampilkan gagasan, visi, atau sikap yang menegaskan perannya sebagai wakil presiden. Di mata publik, ia masih terlihat seperti politisi magang yang tak kunjung bertumbuh dalam tubuh kekuasaan besar.
Sementara itu, waktu berjalan dan ritme kekuasaan di Istana tak menunggu. Gibran tampak tidak cukup kapabel membaca arah perubahan politik di bawah Prabowo. Ia masih bergantung pada lingkar relawan dan geng loyalis Jokowi yang posisinya kian kehilangan daya tawar.
Ketika politik pusat bergerak cepat menuju format baru yang lebih teknokratik di bawah kendali Prabowo, Gibran tertinggal dalam narasi lama sebagai "lanjutan Jokowi" yang sudah kehilangan relevansi.
Praktis Gibran gagal menjadi jangkar politik Jokowi di pusat kekuasaan. Maka, alih-alih menjadi penopang, ia justru menjadi titik paling rapuh dalam struktur politik dinasti warisan Jokowi.