Paradoks Tembakau: Distigmatisasi di Sini, Dipuja di Laboratorium Seberang Sana
Tembakau adalah salah satu tanaman paling paradoksal di dunia modern. Ia dikutuk di ruang publik dunia selatan, tetapi dipuja di ruang laboratorium dunia utara.Â
Selama puluhan tahun, kampanye kesehatan global menempatkannya sebagai biang penyakit, simbol ketergantungan, dan penyebab kemiskinan. Namun di balik stigma itu, tembakau justru menjadi rebutan industri farmasi dan bioteknologi global.
Daun yang distigmatisasi di sini justru berubah menjadi emas di sana. Spesies nicotiana tabacum dan nicotiana benthamiana kini digunakan secara luas untuk menghasilkan antibodi, enzim terapi, hingga vaksin.Â
Sifat biologisnya yang mudah tumbuh, cepat panen, dan responsif terhadap rekayasa genetik menjadikannya media ideal dalam produksi protein terapeutik. Dengan kata lain, tanaman yang didemonisasi sebagai sumber penyakit diam-diam disulap menjadi sumber penyembuhan.
Di Indonesia, tembakau telah menjadi bagian dari budaya agraris selama berabad-abad. Ia tumbuh dalam siklus ekonomi dan ritual masyarakat, bukan sekadar komoditas.Â
Namun dalam pandangan laboratorium di Amerika, Jepang, atau Jerman, tembakau adalah biofactory, pabrik biologis bernilai tinggi. Ironinya, ketika petani di Temanggung kehilangan harga, para ilmuwan di utara dunia justru memanen nilai tambah ilmiahnya.
Narasi kesehatan publik yang dominan selama ini membuat masyarakat di negara produsen tidak menyadari potensi pengetahuan dan ekonomi yang terkandung di balik daun ini.Â
Seolah-olah satu-satunya nasib tembakau adalah menjadi rokok yang begitu pun dikonstruksikan sebagai penyebab tunggal penyakit. Padahal, di baliknya tersembunyi agenda dan kepentingan industri bioteknologi bernilai miliaran dolar.
Jika dulu kolonialisme datang menjarah rempah, kini kolonialisme baru datang menjarah gen. Dan, sekali lagi, bangsa-bangsa di selatan menjadi penonton dalam drama perebutan nilai yang tumbuh di tanahnya sendiri.
Gerakan Anti-Tembakau dan Konstruksi Moralistik Global
Gerakan anti-tembakau global bukan hanya proyek kesehatan publik, tetapi juga proyek moralistik dan politik pengetahuan. Melalui Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang disponsori WHO, negara-negara didorong untuk menekan produksi, menaikkan cukai, dan membatasi konsumsi.Â
Narasinya tampak sederhana: menyelamatkan manusia dari penyakit. Tapi, jika ditelisik lebih dalam, ia juga berfungsi menghapus legitimasi sosial dan ekonomi tanaman tembakau di negara produsen.
Konstruksi moral ini bekerja secara halus. Membentuk persepsi bahwa tembakau, dan dengan demikian para petani dan pekerja yang hidup darinya, adalah "kotor", tidak beradab, dan harus ditinggalkan.Â
Dalam banyak kasus, kampanye anti-tembakau dibiayai oleh lembaga filantropi raksasa yang juga memiliki investasi besar di sektor farmasi, bioteknologi, atau produk nikotin alternatif yang dipatenkan. Dengan cara itu, moralitas dijadikan topeng bagi kepentingan ekonomi baru.
Bandingkan perlakuan terhadap industri makanan ultra-proses, gula, atau alkohol, yang juga menimbulkan risiko kesehatan tinggi namun tidak mengalami demonisasi setara.Â
Mengapa hanya tembakau yang digempur habis-habisan? Jawabannya sederhana: karena nilai tambah dari tembakau diam-diam hendak direbut dan bahkan dijarah. Untuk merebutnya, langkah pertama adalah menghancurkan citra lamanya di mata publik.
Gerakan anti-tembakau beroperasi melalui bahasa kesehatan, tapi efeknya politis. Memutus mata rantai ekonomi rakyat dan menyiapkan panggung bagi aktor-aktor baru untuk masuk: korporasi bioteknologi, perusahaan nikotin farmasi, dan investor yang melihat tembakau bukan sebagai tanaman "berbahaya", melainkan "berharga".
Ketika moralitas digunakan sebagai alat delegitimasi, yang lahir bukan dunia yang lebih sehat, melainkan pasar baru yang lebih terkonsentrasi. Inilah wajah kolonialisme baru yang bersembunyi di balik jargon penyelamatan kesehatan global.
Industri Farmasi dan Perebutan Bioteknologi Tembakau
Pada 1990-an, sejumlah laboratorium di Amerika, Kanada, dan Jerman mulai menggunakan tembakau sebagai sistem ekspresi genetik untuk memproduksi protein terapeutik.Â
Dari situ lahirlah teknologi plant molecular farming, yakni cara menanam obat-obatan dalam daun. Produksinya lebih murah, cepat, dan efisien dibanding sistem berbasis hewan atau sel manusia.
Perusahaan Medicago di Kanada menjadi contoh paling terkenal. Dengan dukungan investasi dari Philip Morris International, mereka mengembangkan vaksin COVID-19 berbasis tembakau.Â
Secara ilmiah, proyek ini sukses besar: tembakau berhasil menjadi media pembawa antigen dengan efektivitas tinggi. Namun, secara politik, WHO menolak memberi izin darurat hanya karena perusahaan itu memiliki afiliasi dengan industri tembakau. Alasan moral mengalahkan capaian ilmiah.
Kasus Medicago menunjukkan paradoks paling telanjang dari perang tembakau global. Di satu sisi, WHO mendorong riset inovatif untuk menghadapi pandemi; di sisi lain, menolak inovasi hanya karena berasal dari tanaman yang "salah."Â
Tapi, di luar sorotan publik, perusahaan lain yang menggunakan teknologi serupa, seperti Icon Genetics di Jerman dan Kentucky BioProcessing di AS, terus melanjutkan risetnya dengan tenang, tanpa beban moral.
Artinya, bukan teknologi yang jadi masalah, melainkan siapa yang memegang kontrolnya. Industri farmasi global memahami betul potensi tembakau sebagai mesin biologis masa depan.Â
Dan, untuk mengamankan kepemilikan itu, mereka membutuhkan ruang publik yang membenci tembakau. Semakin besar kebencian, semakin mudah monopoli pengetahuan terbentuk.
Dalam dunia kapitalisme sains, nilai ekonomi selalu dimulai dari narasi. Dan, narasi anti-tembakau telah memberi ruang sempurna bagi farmasi global untuk mengubah daun yang sama menjadi paten yang tak ternilai.
Jejak Kolonialisme Baru dalam Riset dan Regulasi
Kolonialisme klasik menjarah tanah dan tenaga; kolonialisme baru menjarah gen, data, dan pengetahuan. Dalam konteks tembakau, proses ini berlangsung lewat mekanisme yang tampak sahih: regulasi, riset, dan hak kekayaan intelektual.
Melalui perjanjian seperti FCTC, negara produsen dibatasi ruang geraknya: tidak boleh mengiklankan, tidak boleh mensponsori, bahkan dalam beberapa kasus, dilarang mendanai riset yang berhubungan dengan tembakau.Â
Sementara itu, laboratorium di negara maju tetap bebas bereksperimen dengan DNA tembakau untuk tujuan bioteknologi. Hasil risetnya dipatenkan, dijual, dan dilindungi oleh hukum internasional.
Asimetri ini menghasilkan bentuk dominasi yang halus tapi mematikan. Negara-negara produsen kehilangan kemampuan untuk mengembangkan riset berbasis tanaman yang mereka tanam sendiri.Â
Akses terhadap plasma nutfah dan material genetik dibatasi, sementara hasil riset di luar negeri tidak pernah kembali menjadi milik publik. Itulah bentuk baru dari ekstraksi kolonial: pengambilalihan nilai ilmiah tanpa harus menjajah secara fisik.
Kolonialisme baru ini juga bersandar pada legitimasi moral. Narasi kesehatan global memberi justifikasi etis bagi kebijakan yang sebenarnya bersifat eksploitatif.Â
Dalam retorika WHO, larangan terhadap tembakau adalah tindakan penyelamatan manusia. Tapi, dalam praktiknya, juga berfungsi sebagai pagar yang menjaga agar nilai tambah bioteknologinya tidak bocor keluar dari lingkaran industri global.
Dengan cara ini, kolonialisme tidak lagi datang dengan kapal dan senjata, melainkan dengan hibah riset, konvensi internasional, dan sertifikat paten.
Kedaulatan Ilmu dan Nasib Petani
Pertarungan atas tembakau sejatinya adalah pertarungan atas pengetahuan. Dan, di titik ini, bangsa-bangsa produsen seperti Indonesia dihadapkan pada pilihan sejarah: terus menjadi penonton, atau merebut kembali kendali atas kekayaan biologinya sendiri.
Kita perlu merehabilitasi pengetahuan tentang tembakau untuk menegakkan kedaulatan ilmu. Artinya, mengembangkan riset bioteknologi berbasis tembakau di dalam negeri, mematenkan hasilnya, dan memastikan nilai tambah ekonomi kembali ke petani.Â
Pertanyaannya, jika daun ini bisa menghasilkan vaksin, antibodi, atau enzim terapi, mengapa tidak dikembangkan secara etis dan berdaulat di sini?
Langkah itu menuntut keberanian politik: untuk tidak sekadar tunduk pada narasi kesehatan global yang bias, melainkan menulis ulang peta pengetahuan dari perspektif bangsa sendiri.Â
Kesehatan publik dan kedaulatan ilmiah tidak perlu dipertentangkan. Keduanya bisa berjalan beriringan jika dikembalikan ke konteks keadilan sosial dan kemandirian ekonomi.
Petani tembakau di Temanggung, Lombok, atau Madura tidak seharusnya menjadi korban dari perang moral global. Mereka bisa menjadi mitra dalam riset tanaman biofarmasi nasional, jika negara bersedia mengubah paradigma: dari menolak ke memanfaatkan, dari mengutuk ke memahami.
Pada akhirnya, tembakau menjadi simbol: bahwa bangsa yang tidak menguasai pengetahuan tentang kekayaannya sendiri akan kehilangan segalanya: tanahnya, petaninya, dan masa depannya.
Daun, Moral, dan Ingatan yang Direbut
Dari uraian di atas, tembakau berhasil menyingkap dunia yang licik: di satu sisi moralitas, di sisi lain kapital. Daun yang sama bisa disebut "beracun" di podium WHO, tapi disebut "revolusioner" di jurnal Nature Biotechnology.Â
Dalam kontradiksi itu, publik dibiarkan bingung, sementara kekuasaan pengetahuan berpindah tangan secara senyap.
Gerakan anti-tembakau mengklaim berbicara atas nama kesehatan, tapi dalam praktiknya menutup pintu bagi kemandirian ilmiah bangsa-bangsa selatan.Â
Ketika laboratorium global memanen daun tembakau untuk mencetak vaksin, petani di Temanggung justru kehilangan harga dan kehormatan.Â
Itulah ironi paling getir dari dunia modern: yang disebut "penyakit" di sini justru menjadi "penyembuhan" di sana.
Dan, ketika sejarah berulang, kita hanya punya dua pilihan: tetap menjadi bangsa yang dibodohi oleh narasi global, atau menjadi bangsa yang berani menulis narasinya sendiri.Â
Sebagaimana tembakau, pengetahuan pun tumbuh, hanya jika dijaga dan dipelihara oleh mereka yang benar-benar memahami akarnya dan peduli pada martabat bangsanya.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI