Mohon tunggu...
Christanto Panglaksana
Christanto Panglaksana Mohon Tunggu... Penulis

Warga pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mereka Berebut, Kita Dibodohi: Gerakan Anti-Tembakau, Alat Kolonialisme Baru

7 Oktober 2025   13:51 Diperbarui: 7 Oktober 2025   13:51 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi petani tembakau (Sumber: Kompas.com/Pexels/Setengah Lima Sore)

Sementara itu, laboratorium di negara maju tetap bebas bereksperimen dengan DNA tembakau untuk tujuan bioteknologi. Hasil risetnya dipatenkan, dijual, dan dilindungi oleh hukum internasional.

Asimetri ini menghasilkan bentuk dominasi yang halus tapi mematikan. Negara-negara produsen kehilangan kemampuan untuk mengembangkan riset berbasis tanaman yang mereka tanam sendiri. 

Akses terhadap plasma nutfah dan material genetik dibatasi, sementara hasil riset di luar negeri tidak pernah kembali menjadi milik publik. Itulah bentuk baru dari ekstraksi kolonial: pengambilalihan nilai ilmiah tanpa harus menjajah secara fisik.

Kolonialisme baru ini juga bersandar pada legitimasi moral. Narasi kesehatan global memberi justifikasi etis bagi kebijakan yang sebenarnya bersifat eksploitatif. 

Dalam retorika WHO, larangan terhadap tembakau adalah tindakan penyelamatan manusia. Tapi, dalam praktiknya, juga berfungsi sebagai pagar yang menjaga agar nilai tambah bioteknologinya tidak bocor keluar dari lingkaran industri global.

Dengan cara ini, kolonialisme tidak lagi datang dengan kapal dan senjata, melainkan dengan hibah riset, konvensi internasional, dan sertifikat paten.

Kedaulatan Ilmu dan Nasib Petani

Pertarungan atas tembakau sejatinya adalah pertarungan atas pengetahuan. Dan, di titik ini, bangsa-bangsa produsen seperti Indonesia dihadapkan pada pilihan sejarah: terus menjadi penonton, atau merebut kembali kendali atas kekayaan biologinya sendiri.

Kita perlu merehabilitasi pengetahuan tentang tembakau untuk menegakkan kedaulatan ilmu. Artinya, mengembangkan riset bioteknologi berbasis tembakau di dalam negeri, mematenkan hasilnya, dan memastikan nilai tambah ekonomi kembali ke petani. 

Pertanyaannya, jika daun ini bisa menghasilkan vaksin, antibodi, atau enzim terapi, mengapa tidak dikembangkan secara etis dan berdaulat di sini?

Langkah itu menuntut keberanian politik: untuk tidak sekadar tunduk pada narasi kesehatan global yang bias, melainkan menulis ulang peta pengetahuan dari perspektif bangsa sendiri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun