Mohon tunggu...
Christanto Panglaksana
Christanto Panglaksana Mohon Tunggu... Penulis

Warga pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mereka Berebut, Kita Dibodohi: Gerakan Anti-Tembakau, Alat Kolonialisme Baru

7 Oktober 2025   13:51 Diperbarui: 7 Oktober 2025   13:51 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi petani tembakau (Sumber: Kompas.com/Pexels/Setengah Lima Sore)

Kesehatan publik dan kedaulatan ilmiah tidak perlu dipertentangkan. Keduanya bisa berjalan beriringan jika dikembalikan ke konteks keadilan sosial dan kemandirian ekonomi.

Petani tembakau di Temanggung, Lombok, atau Madura tidak seharusnya menjadi korban dari perang moral global. Mereka bisa menjadi mitra dalam riset tanaman biofarmasi nasional, jika negara bersedia mengubah paradigma: dari menolak ke memanfaatkan, dari mengutuk ke memahami.

Pada akhirnya, tembakau menjadi simbol: bahwa bangsa yang tidak menguasai pengetahuan tentang kekayaannya sendiri akan kehilangan segalanya: tanahnya, petaninya, dan masa depannya.

Daun, Moral, dan Ingatan yang Direbut

Dari uraian di atas, tembakau berhasil menyingkap dunia yang licik: di satu sisi moralitas, di sisi lain kapital. Daun yang sama bisa disebut "beracun" di podium WHO, tapi disebut "revolusioner" di jurnal Nature Biotechnology. 

Dalam kontradiksi itu, publik dibiarkan bingung, sementara kekuasaan pengetahuan berpindah tangan secara senyap.

Gerakan anti-tembakau mengklaim berbicara atas nama kesehatan, tapi dalam praktiknya menutup pintu bagi kemandirian ilmiah bangsa-bangsa selatan. 

Ketika laboratorium global memanen daun tembakau untuk mencetak vaksin, petani di Temanggung justru kehilangan harga dan kehormatan. 

Itulah ironi paling getir dari dunia modern: yang disebut "penyakit" di sini justru menjadi "penyembuhan" di sana.

Dan, ketika sejarah berulang, kita hanya punya dua pilihan: tetap menjadi bangsa yang dibodohi oleh narasi global, atau menjadi bangsa yang berani menulis narasinya sendiri. 

Sebagaimana tembakau, pengetahuan pun tumbuh, hanya jika dijaga dan dipelihara oleh mereka yang benar-benar memahami akarnya dan peduli pada martabat bangsanya.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun