Paradoks Leluhur dan Bias "Kebenaran"
Dalam banyak keluarga Indonesia, kita mengenal kisah para kakek yang tetap sehat hingga usia 80 atau 90 tahun, meski sebatang rokok lintingan tak pernah lepas dari tangan mereka. Kisah itu bukan anekdot langka; tapi begitu melegenda hingga menjadi bagian dari ingatan kolektif bangsa ini.Â
Dalam logika kesehatan modern, hal semacam itu seharusnya mustahil. Sebab, bagi sains medis, merokok adalah musuh utama tubuh. Di sinilah paradoksnya dimulai.
Paradoks tersebut menuntun kita pada pertanyaan epistemologis: Apakah klaim bahwa "rokok berisiko" adalah kebenaran universal, atau hanya konstruksi yang dibentuk oleh sistem pengetahuan tertentu?Â
Dalam sejarah pengetahuan manusia, konsep risiko tidak pernah netral. Ia selalu lahir dalam konteks ekonomi, politik, dan ideologi tertentu yang menentukan apa yang disebut sehat dan apa yang disebut berbahaya.
Kesehatan modern dibangun dari cara berpikir industri: tubuh dianggap sebagai mesin biologis yang bisa diukur, dikontrol, dan direkayasa.Â
Sementara leluhur kita hidup dengan paradigma yang lain: tubuh sebagai bagian dari alam, bernapas bersama tanah, tumbuhan, dan ritme sosial.Â
Ketika dua paradigma itu bertemu, yang satu menundukkan yang lain. Maka, yang disebut "sehat" pun menjadi monopoli sains, sementara pengalaman hidup manusia dikategorikan sebagai penyimpangan.
Maka, alih-alih menyalahkan masa lalu, kita perlu membaca pengalaman leluhur itu sebagai kritik terhadap politik pengetahuan yang kini mendominasi.Â
Mereka bukan bukti kebetulan biologis, melainkan bukti epistemologis bahwa tubuh manusia tidak tunduk sepenuhnya pada satu versi kebenaran medis.