Mohon tunggu...
Christanto Panglaksana
Christanto Panglaksana Mohon Tunggu... Penulis

Warga pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Apa Itu Kapitalisme Filantropi? Penjajahan Baru Berbulu Kedermawanan

4 Oktober 2025   09:50 Diperbarui: 4 Oktober 2025   09:50 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di bidang pendidikan, digitalisasi kelas didorong oleh yayasan teknologi global. Peran sejati guru perlahan tersingkir, kurikulum tergantung pada konten digital impor, dan anak-anak menjadi pasar bagi ekosistem platform global. Apa yang disebut sebagai "inovasi" sebenarnya adalah transformasi pasar yang menguntungkan perusahaan teknologi.

Di sektor energi, Indonesia didorong masuk dalam skema transisi hijau berbasis pasar karbon. Alih-alih memperkuat energi komunitas, seperti mikrohidro atau surya lokal, kita diarahkan untuk masuk ke mekanisme investasi global yang dikontrol oleh korporasi finansial.

Semua contoh ini menunjukkan hal yang sama: filantropi bukan sekadar bantuan, melainkan pintu masuk bagi kontrol global. Indonesia dijadikan laboratorium, rakyatnya menjadi objek uji coba kebijakan.

Monopoli Pengetahuan: Siapa yang Menentukan Ilmu?

Kapitalisme filantropi tidak hanya menguasai uang dan kebijakan, tetapi juga pengetahuan. Donor besar mendanai laboratorium, jurnal, dan konsultan yang menjadi penentu definisi "masalah" dan "solusi".

Akibatnya, pengetahuan atau kearifan lokal dan pengalaman komunitas dianggap tidak sahih. Petani yang menyimpan benih tradisional disebut "kuno". Guru yang mengajar dengan metode kontekstual dianggap "tidak inovatif". Komunitas yang mengelola energi sendiri dianggap "tidak efisien". Semua diukur dengan standar donor, padahal standar itu lahir dari logika pasar.

Inilah yang disebut oleh Vandana Shiva sebagai monopoli epistemik. Pengetahuan yang beragam dipangkas menjadi satu bentuk: yang bisa diukur, dikomodifikasi, dan dijual. Hanya itu yang diakui sebagai "sains". Padahal, kehidupan jauh lebih kompleks daripada sekadar angka dan grafik.

Masalah ini menjadi serius karena kebijakan publik juga dipaksa tunduk pada satu jenis pengetahuan. Jika indikator donor bilang berhasil, maka program jalan terus meski merusak komunitas. Jika indikator donor bilang gagal, maka praktik lokal dibuang meski sudah terbukti bertahan ratusan tahun dan berdasar pertimbangan yang holistik.

Dengan kata lain, dari sini jelas bahwa kapitalisme filantropi bukan hanya merampas kedaulatan ekonomi, tetapi juga merampas kedaulatan berpikir.

Demokrasi Digerogoti dari Dalam

Bahaya terbesar kapitalisme filantropi adalah defisit demokrasi. Negara kehilangan fungsi utama: mewakili rakyat. Kebijakan publik tidak lagi lahir dari debat politik atau aspirasi masyarakat, melainkan dari kontrak antara donor dan birokrat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun