Mohon tunggu...
Christanto Panglaksana
Christanto Panglaksana Mohon Tunggu... Penulis

Warga pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Apa Itu Kapitalisme Filantropi? Penjajahan Baru Berbulu Kedermawanan

4 Oktober 2025   09:50 Diperbarui: 4 Oktober 2025   09:50 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kedua, mereka membiayai proyek percontohan. Model ini sederhana: sebuah program dijalankan dengan standar donor, dievaluasi dengan indikator donor, lalu dipromosikan sebagai "sukses". Setelah itu, pemerintah didorong mengadopsinya secara nasional dengan dana APBN. Dengan cara ini, negara menjadi mesin replikasi agenda donor.

Ketiga, mereka menguasai data. Sistem kesehatan, pendidikan, hingga energi yang dibiayai donor biasanya menyertakan klausul akses data. Data bukan sekadar angka, tetapi kekuasaan. Dengan menguasai data, mereka bisa menentukan arah kebijakan di masa depan. Bahkan bisa memprediksi dan mengendalikan perilaku populasi.

Semua ini dilakukan tanpa harus merebut kursi parlemen atau kementerian. Donor tidak butuh kekuasaan formal karena mereka sudah mengendalikan infrastruktur kebijakan: riset, proyek, dan data. Inilah bentuk kuasa tanpa mandat.

Dengan mekanisme ini, para filantropis bisa mengatur dunia lewat pintu belakang. Publik hanya melihat sisi "amal"-nya, tanpa menyadari bahwa demokrasi sudah diretas dari dalam.

Indonesia: Laboratorium Filantropi Global

Indonesia adalah contoh nyata bagaimana kapitalisme filantropi bekerja. 

Di sektor pertanian, dorongan penggunaan benih GMO dipromosikan dengan dalih ketahanan pangan. Namun, di baliknya, petani dipaksa membeli benih baru setiap musim, kehilangan kedaulatan atas benih hasil kearifan lokal. 

Monopoli korporasi semakin menguat, persis seperti kritik Vandana Shiva tentang "pencurian benih kehidupan".

Di sektor kesehatan, Bloomberg mendanai kampanye anti-tembakau. Tujuannya sepintas kelihatan mulia: menekan angka perokok. 

Namun, klaim kesehatan dari riset yang mereka biayai sering kali bias dan bahkan invalid, memukul rata hampir semua penyakit degeneratif sebagai akibat tunggal: merokok, entah aktif atau pasif. 

Hal ini diperparah lagi ketika kebijakan fiskal negara diarahkan oleh mereka sebagai donor asing sehingga memunculkan masalah: di mana letak kedaulatan kebijakan itu sendiri? Apalagi keputusan fiskal jelas-jelas menyangkut hajat hidup jutaan petani, tenaga kerja, dan pemilik usaha kecil yang terkait dengan industri rokok lokal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun