Mohon tunggu...
Christanto Panglaksana
Christanto Panglaksana Mohon Tunggu... Penulis

Warga pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Apa Itu Kapitalisme Filantropi? Penjajahan Baru Berbulu Kedermawanan

4 Oktober 2025   09:50 Diperbarui: 4 Oktober 2025   09:50 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: Amazon.com)

Dari Krisis Global ke Kuasa 1%

Dunia kini berada di persimpangan. Krisis ekonomi, pandemi, darurat iklim, dan runtuhnya kepercayaan pada demokrasi formal membuat publik haus akan solusi cepat. 

Di tengah keresahan itu, muncul segelintir miliarder super kaya yang menawarkan "jawaban" dengan wajah kedermawanan. Mereka menyumbangkan miliaran dolar untuk kesehatan, pendidikan, pangan, hingga energi. 

Di atas kertas, aksi itu tampak seperti kepedulian tulus. Tapi, bila ditelusuri lebih jauh, ini adalah strategi perebutan kuasa.

Kapitalisme filantropi bekerja lewat logika sederhana: dengan kekayaan yang hampir tak terbatas, mereka bisa membeli legitimasi politik tanpa harus ikut pemilu. 

Mereka tidak duduk di parlemen, tapi bisa mengarahkan undang-undang. Mereka tidak masuk kabinet, tapi bisa menentukan agenda kementerian. Uang menjadi tiket masuk ke ranah yang seharusnya hanya bisa ditembus oleh mandat rakyat.

Inilah yang mendorong Vandana Shiva, seorang aktivis perempuan dari India, memprakarsai gerakan oneness melawan the 1%. Oneness berarti keberlanjutan hidup, solidaritas komunitas, dan kedaulatan lokal. 

Sebaliknya, the 1% adalah logika monopoli dan dominasi, di mana segelintir orang superkaya menentukan arah dunia. Filantropi sendiri kemudian tak lebih daripada wajah manis dari kekuasaan yang sesungguhnya: kontrol ekonomi-politik tanpa akuntabilitas.

Persoalannya bukan pada memberi atau tidak memberi, tapi pada bagaimana filantropi malah menjadi alat kuasa. Bantuan yang seharusnya memperkuat kedaulatan justru membuat negara dan komunitas semakin tergantung. Maka, pertanyaan kunci bagi kita adalah: apakah kita sedang ditolong, atau sedang dijajah dalam bungkus baru?

Pahlawan Palsu: Bagaimana 1% Dipuja Dunia

Para miliarder filantropis super kaya berhasil membungkus diri mereka sebagai pahlawan kemanusiaan. Media global menampilkan wajah mereka sebagai "visioner" yang menyelamatkan dunia dari kelaparan, penyakit, dan kebodohan. 

Forum internasional, seperti PBB, WHO, atau Davos, memberi mereka panggung megah. Budaya populer bahkan menggambarkan mereka sebagai sosok jenius yang lebih bisa diandalkan ketimbang politisi.

Pencitraan ini diperkuat oleh permainan narasi data. Gates Foundation, misalnya, menampilkan grafik tentang nyawa yang "diselamatkan" oleh vaksin. Bloomberg menampilkan angka epidemi rokok. 

Narasi statistik membuat mereka tampak ilmiah dan objektif. Padahal, siapa yang menentukan indikator keberhasilan? Jawabannya: lembaga riset yang dibiayai oleh mereka sendiri.

Dengan cara ini, lahirlah ilusi penyelamat. Kritik terhadap mereka sering dipukul balik dengan label "anti-kemajuan" atau "anti-sains," bahkan "anti-kemanusiaan." 

Padahal, yang dipersoalkan bukan kebaikan vaksin atau pendidikan digital itu sendiri, melainkan kuasa yang lahir dari donasi bersyarat. Tapi, opini publik yang sudah mabuk dengan citra dermawan sulit membedakan keduanya.

Akibatnya, para filantropis itu menjadi kebal kritik. Mereka bebas bergerak di ruang publik tanpa mekanisme kontrol. Pemerintah segan menolak, media sungkan menguliti, publik sudah telanjur mengagungkan. Legitimasi sosial ini jauh lebih berbahaya daripada sekadar uang: menciptakan hegemoni.

Inilah akar dari persoalan kapitalisme filantropi: bukan sekadar donasi besar, melainkan bagaimana donasi itu dipakai untuk membangun aura "tak tergantikan" yang niscaya di mata publik.

Kuasa Tersembunyi: Dari Dana hingga Data

Kapitalisme filantropi bekerja secara sistematis lewat mekanisme tersembunyi. 

Pertama, mereka menguasai riset. Dengan mendanai penelitian, mereka otomatis menentukan apa yang dianggap masalah dan solusi. Sains yang lahir dari dana mereka sering diklaim sebagai "netral", padahal sejak awal sudah diarahkan sesuai kepentingan.

Kedua, mereka membiayai proyek percontohan. Model ini sederhana: sebuah program dijalankan dengan standar donor, dievaluasi dengan indikator donor, lalu dipromosikan sebagai "sukses". Setelah itu, pemerintah didorong mengadopsinya secara nasional dengan dana APBN. Dengan cara ini, negara menjadi mesin replikasi agenda donor.

Ketiga, mereka menguasai data. Sistem kesehatan, pendidikan, hingga energi yang dibiayai donor biasanya menyertakan klausul akses data. Data bukan sekadar angka, tetapi kekuasaan. Dengan menguasai data, mereka bisa menentukan arah kebijakan di masa depan. Bahkan bisa memprediksi dan mengendalikan perilaku populasi.

Semua ini dilakukan tanpa harus merebut kursi parlemen atau kementerian. Donor tidak butuh kekuasaan formal karena mereka sudah mengendalikan infrastruktur kebijakan: riset, proyek, dan data. Inilah bentuk kuasa tanpa mandat.

Dengan mekanisme ini, para filantropis bisa mengatur dunia lewat pintu belakang. Publik hanya melihat sisi "amal"-nya, tanpa menyadari bahwa demokrasi sudah diretas dari dalam.

Indonesia: Laboratorium Filantropi Global

Indonesia adalah contoh nyata bagaimana kapitalisme filantropi bekerja. 

Di sektor pertanian, dorongan penggunaan benih GMO dipromosikan dengan dalih ketahanan pangan. Namun, di baliknya, petani dipaksa membeli benih baru setiap musim, kehilangan kedaulatan atas benih hasil kearifan lokal. 

Monopoli korporasi semakin menguat, persis seperti kritik Vandana Shiva tentang "pencurian benih kehidupan".

Di sektor kesehatan, Bloomberg mendanai kampanye anti-tembakau. Tujuannya sepintas kelihatan mulia: menekan angka perokok. 

Namun, klaim kesehatan dari riset yang mereka biayai sering kali bias dan bahkan invalid, memukul rata hampir semua penyakit degeneratif sebagai akibat tunggal: merokok, entah aktif atau pasif. 

Hal ini diperparah lagi ketika kebijakan fiskal negara diarahkan oleh mereka sebagai donor asing sehingga memunculkan masalah: di mana letak kedaulatan kebijakan itu sendiri? Apalagi keputusan fiskal jelas-jelas menyangkut hajat hidup jutaan petani, tenaga kerja, dan pemilik usaha kecil yang terkait dengan industri rokok lokal.

Di bidang pendidikan, digitalisasi kelas didorong oleh yayasan teknologi global. Peran sejati guru perlahan tersingkir, kurikulum tergantung pada konten digital impor, dan anak-anak menjadi pasar bagi ekosistem platform global. Apa yang disebut sebagai "inovasi" sebenarnya adalah transformasi pasar yang menguntungkan perusahaan teknologi.

Di sektor energi, Indonesia didorong masuk dalam skema transisi hijau berbasis pasar karbon. Alih-alih memperkuat energi komunitas, seperti mikrohidro atau surya lokal, kita diarahkan untuk masuk ke mekanisme investasi global yang dikontrol oleh korporasi finansial.

Semua contoh ini menunjukkan hal yang sama: filantropi bukan sekadar bantuan, melainkan pintu masuk bagi kontrol global. Indonesia dijadikan laboratorium, rakyatnya menjadi objek uji coba kebijakan.

Monopoli Pengetahuan: Siapa yang Menentukan Ilmu?

Kapitalisme filantropi tidak hanya menguasai uang dan kebijakan, tetapi juga pengetahuan. Donor besar mendanai laboratorium, jurnal, dan konsultan yang menjadi penentu definisi "masalah" dan "solusi".

Akibatnya, pengetahuan atau kearifan lokal dan pengalaman komunitas dianggap tidak sahih. Petani yang menyimpan benih tradisional disebut "kuno". Guru yang mengajar dengan metode kontekstual dianggap "tidak inovatif". Komunitas yang mengelola energi sendiri dianggap "tidak efisien". Semua diukur dengan standar donor, padahal standar itu lahir dari logika pasar.

Inilah yang disebut oleh Vandana Shiva sebagai monopoli epistemik. Pengetahuan yang beragam dipangkas menjadi satu bentuk: yang bisa diukur, dikomodifikasi, dan dijual. Hanya itu yang diakui sebagai "sains". Padahal, kehidupan jauh lebih kompleks daripada sekadar angka dan grafik.

Masalah ini menjadi serius karena kebijakan publik juga dipaksa tunduk pada satu jenis pengetahuan. Jika indikator donor bilang berhasil, maka program jalan terus meski merusak komunitas. Jika indikator donor bilang gagal, maka praktik lokal dibuang meski sudah terbukti bertahan ratusan tahun dan berdasar pertimbangan yang holistik.

Dengan kata lain, dari sini jelas bahwa kapitalisme filantropi bukan hanya merampas kedaulatan ekonomi, tetapi juga merampas kedaulatan berpikir.

Demokrasi Digerogoti dari Dalam

Bahaya terbesar kapitalisme filantropi adalah defisit demokrasi. Negara kehilangan fungsi utama: mewakili rakyat. Kebijakan publik tidak lagi lahir dari debat politik atau aspirasi masyarakat, melainkan dari kontrak antara donor dan birokrat.

Para miliarder super kaya ini tidak bisa diinterpelasi DPR. Mereka tidak bisa dituntut di pengadilan rakyat. Mereka tidak perlu memaparkan visi-misi di hadapan publik. Tapi, keputusan mereka memengaruhi hidup jutaan orang. Ini adalah pemerintahan bayangan yang bekerja tanpa mandat.

Defisit demokrasi ini membuat rakyat semakin apatis. Mereka melihat kebijakan berubah, tapi tidak tahu siapa yang sebenarnya menentukan. Mereka tidak bisa menuntut karena aktor kuncinya berada di luar jangkauan. Hasilnya adalah demokrasi kosong: ada pemilu, tapi keputusan strategis sudah ditentukan jauh sebelum rakyat memilih.

Untuk mengatasi hal ini, kita butuh mekanisme pengawasan baru. Kontrak donor harus transparan. Parlemen harus terlibat dalam persetujuan program. Data publik tidak boleh dikuasai oleh donor. Jurnalisme investigatif dan audit warga harus diperkuat. 

Tanpa semua itu, demokrasi hanya menjadi dekorasi, sementara kekuasaan sesungguhnya ada di tangan 1%.

Merebut Kembali Masa Depan: Jalan Oneness

Apakah kita harus menolak semua filantropi? Tidak. Yang harus ditolak adalah cara filantropi dijadikan instrumen kekuasaan. Bantuan yang memperkuat ketergantungan bukanlah bantuan, melainkan penjajahan baru.

Vandana Shiva menawarkan jalan oneness: kedaulatan komunitas, keberlanjutan kehidupan, dan solidaritas. Artinya, solusi lokal harus diutamakan. 

Di bidang pangan, melindungi benih tradisional dan hak petani. Di bidang kesehatan, membangun sistem transparan berbasis kebutuhan rakyat. Di bidang pendidikan, memperkuat guru dan kurikulum kontekstual. Di bidang energi, mendukung inovasi komunitas.

Selain solusi praktis, kita juga harus melawan budaya pemujaan miliarder dan ideologi kesuksesan. Publik harus berhenti menganggap mereka sebagai penyelamat. Sebaliknya, kita perlu menuntut akuntabilitas dan transparansi, menolak monopoli data, dan membela pluralitas pengetahuan.

Melawan kapitalisme filantropi bukan pertempuran melawan individu, melainkan melawan sistem yang memberi mereka kuasa tanpa mandat. Jalan oneness adalah jalan untuk merebut kembali hak rakyat dalam menentukan masa depannya sendiri.

Dan, hanya dengan jalan itu, kita bisa memastikan bahwa kebaikan bukan lagi topeng kekuasaan, melainkan harus menjamin demokrasi sejati.***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun