Para miliarder filantropis super kaya berhasil membungkus diri mereka sebagai pahlawan kemanusiaan. Media global menampilkan wajah mereka sebagai "visioner" yang menyelamatkan dunia dari kelaparan, penyakit, dan kebodohan.Â
Forum internasional, seperti PBB, WHO, atau Davos, memberi mereka panggung megah. Budaya populer bahkan menggambarkan mereka sebagai sosok jenius yang lebih bisa diandalkan ketimbang politisi.
Pencitraan ini diperkuat oleh permainan narasi data. Gates Foundation, misalnya, menampilkan grafik tentang nyawa yang "diselamatkan" oleh vaksin. Bloomberg menampilkan angka epidemi rokok.Â
Narasi statistik membuat mereka tampak ilmiah dan objektif. Padahal, siapa yang menentukan indikator keberhasilan? Jawabannya: lembaga riset yang dibiayai oleh mereka sendiri.
Dengan cara ini, lahirlah ilusi penyelamat. Kritik terhadap mereka sering dipukul balik dengan label "anti-kemajuan" atau "anti-sains," bahkan "anti-kemanusiaan."Â
Padahal, yang dipersoalkan bukan kebaikan vaksin atau pendidikan digital itu sendiri, melainkan kuasa yang lahir dari donasi bersyarat. Tapi, opini publik yang sudah mabuk dengan citra dermawan sulit membedakan keduanya.
Akibatnya, para filantropis itu menjadi kebal kritik. Mereka bebas bergerak di ruang publik tanpa mekanisme kontrol. Pemerintah segan menolak, media sungkan menguliti, publik sudah telanjur mengagungkan. Legitimasi sosial ini jauh lebih berbahaya daripada sekadar uang: menciptakan hegemoni.
Inilah akar dari persoalan kapitalisme filantropi: bukan sekadar donasi besar, melainkan bagaimana donasi itu dipakai untuk membangun aura "tak tergantikan" yang niscaya di mata publik.
Kuasa Tersembunyi: Dari Dana hingga Data
Kapitalisme filantropi bekerja secara sistematis lewat mekanisme tersembunyi.Â
Pertama, mereka menguasai riset. Dengan mendanai penelitian, mereka otomatis menentukan apa yang dianggap masalah dan solusi. Sains yang lahir dari dana mereka sering diklaim sebagai "netral", padahal sejak awal sudah diarahkan sesuai kepentingan.