Mohon tunggu...
Christanto Panglaksana
Christanto Panglaksana Mohon Tunggu... Penulis

Warga pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Tak Naikkan Cukai Rokok, Purbaya Bongkar Pola Kebijakan Rezim Lama

2 Oktober 2025   12:50 Diperbarui: 2 Oktober 2025   21:26 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa saat ditemui di Istana, Jakarta, Selasa (30/9/2025). (KOMPAS.com/ADHYASTA DIRGANTARA)

Purbaya dan Terobosan Kebijakan

Keputusan Purbaya Yudhi Sadewa untuk tidak menaikkan cukai rokok pada tahun 2026 menjadi penanda penting dalam arah kebijakan fiskal Indonesia. 

Selama bertahun-tahun, negara cenderung memainkan wajah ganda: di satu sisi menikmati triliunan rupiah dari cukai rokok, namun di sisi lain menyudutkan rokok sebagai biang kerok masalah kesehatan. 

Langkah Purbaya mengakhiri pola kebijakan tersebut, karena ia menyatakan bahwa alasan kesehatan bisa ditempuh lewat jalur lain tanpa harus menjadikan rokok sebagai kambing hitam fiskal. 

Pernyataan ini seakan menjadi koreksi terbuka atas kemunafikan kebijakan sebelumnya: Negara seharusnya tidak menyandera industri rokok dan perokok dengan isu kesehatan untuk menjustifikasi kebijakan fiskal.

Di titik ini, langkah Purbaya lebih dari sekadar kebijakan ekonomi. Ini merupakan tindakan politik yang menggugat cara rezim keuangan sebelumnya dalam membangun legitimasi melalui narasi kesehatan. 

Bahwa kesehatan itu penting, tidak ada yang menyangkal. Namun, menjadikannya dalih tunggal untuk menekan industri rokok dan perokok jelas merupakan praktik manipulatif yang sarat dengan kepentingan terselubung.

Karena itu, keputusan tidak menaikkan cukai rokok membuka ruang refleksi lebih luas. Menuntut publik untuk mengkaji kembali klaim-klaim kesehatan yang selama ini dikumandangkan secara berlebihan, tanpa pernah menimbang data secara komprehensif dan tanpa membedakan antara fakta medis dan propaganda moralistik yang munafik.

Klaim Kesehatan dan Validitas Ilmiah

Selama puluhan tahun, klaim bahwa "merokok merugikan kesehatan" terus dipropagandakan. Memang ada banyak studi epidemiologis yang mengaitkan konsumsi rokok dengan risiko kanker paru-paru, penyakit jantung, atau gangguan pernapasan. 

WHO secara resmi menyatakan bahwa tembakau membunuh lebih dari 8 juta orang setiap tahun di dunia, dengan lebih dari 7 juta dari penggunaan langsung dan sekitar 1,3 juta dari paparan asap rokok orang lain. Tapi, data ini tetap harus dibaca secara kritis agar tidak jatuh pada simplifikasi.

Masalah muncul ketika korelasi statistik ini dipelintir menjadi kausalitas absolut. Padahal, pada kenyataannya, tidak semua perokok jatuh sakit, dan tidak semua penderita penyakit paru-paru adalah perokok. 

Narasi tunggal dari klaim "rokok membunuhmu" jelas menyederhanakan kompleksitas realitas kesehatan. Apalagi, konteks risiko sering kali dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang tidak kalah signifikan.

Lebih jauh, banyak riset ilmiah yang dibiayai oleh lembaga internasional maupun kelompok anti-rokok membawa bias tertentu. Pendanaan penelitian sering kali diarahkan untuk memperkuat agenda regulasi, bukan murni mengeksplorasi kebenaran ilmiah. 

Misalnya, penelitian yang hanya fokus pada bahaya rokok tanpa pernah menimbang faktor risiko lain seperti polusi udara, pola makan, stres, atau faktor genetik. Padahal, semua faktor itu juga signifikan dalam menentukan kesehatan seseorang.

Invaliditas klaim tersebut makin terlihat ketika masyarakat perokok tidak menunjukkan pola kerusakan kesehatan yang linier. Ada komunitas perokok tradisional di beberapa daerah di Indonesia yang tetap sehat hingga usia lanjut. 

Fenomena ini jarang dieksplorasi dalam wacana medis arus utama karena dianggap mengganggu narasi besar yang sudah dibangun. Inilah yang memperlihatkan bagaimana sains bisa dipilih-pilih sesuai kebutuhan politik dan ekonomi.

Di sisi lain, masyarakat dibombardir dengan slogan-slogan kesehatan yang simplistis: "Rokok membunuhmu." Slogan ini lebih menyerupai propaganda moral ketimbang edukasi medis. 

Padahal, sains sejati seharusnya tidak bekerja dengan ancaman simplistik, melainkan dengan data yang komprehensif dan keterbukaan terhadap anomali. Ketika anomali diabaikan, sains berubah menjadi dogma.

Dengan demikian, klaim bahwa merokok merugikan kesehatan tidak bisa diterima begitu saja sebagai kebenaran mutlak. Sebaliknya, harus diuji ulang dengan sikap kritis, dengan memperhatikan seluruh variabel yang memengaruhi kesehatan masyarakat. Tanpa itu, klaim tersebut hanya menjadi alat kekuasaan yang dibungkus jubah ilmiah.

Produksi Pengetahuan dan Bias Kepentingan

Narasi tentang bahaya rokok tidak berdiri sendiri, melainkan diproduksi dalam jaringan kepentingan global. Organisasi internasional, lembaga donor, dan industri farmasi memiliki kepentingan besar dalam membentuk opini publik. 

Semakin besar stigma terhadap rokok, semakin terbuka peluang bagi produk substitusi seperti vape, obat nikotin, atau terapi farmasi. Dengan kata lain, demonisasi rokok bukan hanya soal kesehatan, melainkan juga soal pasar.

Di Indonesia, bias ini tampak jelas ketika regulasi kesehatan sering kali merupakan copy-paste dari rekomendasi internasional tanpa memperhatikan konteks sosial-ekonomi lokal. 

Negara yang semestinya melindungi kedaulatan petani tembakau justru menjadi perpanjangan tangan agenda global. Inilah yang menjadikan isu kesehatan berubah menjadi instrumen kolonialisme gaya baru.

Pengetahuan yang diproduksi secara bias juga menjebak masyarakat dalam ilusi moralitas. Perokok diposisikan sebagai individu tak bertanggung jawab yang membebani negara. 

Padahal, fakta fiskal menunjukkan hal sebaliknya: perokok justru menyumbang triliunan rupiah melalui cukai. Tanpa kontribusi ini, pembiayaan kesehatan nasional, termasuk BPJS, akan terganggu.

Di sinilah tampak paradoks besar. Narasi kesehatan mengutuk perokok, tetapi institusi kesehatan bergantung pada uang yang mereka setorkan. 

Jika itu bukan wajah ganda, lalu mau disebut apa? Purbaya dengan tepat menyebut bahwa alasan kesehatan bisa ditempuh lewat jalur lain, karena menjadikan rokok sebagai kambing hitam justru memperlihatkan kemunafikan negara.

Oleh sebab itu, kritik terhadap bias produksi pengetahuan harus terus didorong. Tanpa kritik, masyarakat hanya menjadi korban manipulasi, sementara kelompok kepentingan meraup keuntungan politik dan ekonomi di balik tirai jargon kesehatan.

Negara, Cukai, dan BPJS

Kontribusi rokok terhadap keuangan negara tidak bisa dipandang sebelah mata. Tahun demi tahun, penerimaan cukai rokok mencapai ratusan triliun rupiah. 

Misalnya, di tahun 2023, realisasi penerimaan dari cukai hasil tembakau mencapai sekitar Rp221,8 triliun. Dana ini bukan hanya menopang APBN, tetapi juga menjadi tulang punggung fiskal negara.

Sementara itu, beban keuangan BPJS juga sering menjadi kambing hitam kritikan. Di tahun 2024, BPJS Kesehatan dilaporkan mengalami defisit sebesar Rp 7,14 triliun berdasarkan data keuangan BPJS. Defisit semacam ini sering dikaitkan dengan meningkatnya klaim layanan kesehatan masyarakat. 

Namun, angka itu harus dilihat dalam konteks keseluruhan anggaran: jika defisit ini dibandingkan dengan penerimaan cukai sebesar Rp200 triliun lebih, jelas kontribusi rokok jauh lebih besar daripada beban yang dituduh.

Narasi bahwa rokok membebani BPJS juga menjadi jelas invalid bila diperbandingkan. Cukai rokok yang tinggi secara signifikan melampaui defisit BPJS yang relatif kecil. 

Dengan demikian, alih-alih membebani sistem kesehatan, perokok melalui cukai mereka sejatinya memberi kontribusi signifikan terhadap stabilitas keuangan sistem kesehatan publik.

Purbaya, dalam keputusannya untuk tidak menaikkan cukai rokok, mengingatkan publik agar tidak bermain dengan dalih kesehatan yang semu. Jika kesehatan publik dianggap prioritas, negara harus memperbaiki aspek manajemen BPJS, seperti kepesertaan aktif, efisiensi layanan, dan pengendalian klaim, bukan terus-menerus menyalahkan rokok.

Dalam relasi ini, isu rokok dan BPJS bukan sekadar soal kesehatan, tetapi soal keadilan fiskal dan transparansi moral negara.

Tebang Pilih Risiko dan Konstruksi Sosial

Jika logika kesehatan publik dijadikan tolok ukur, seharusnya semua faktor risiko diperlakukan sama. 

Alkohol, makanan cepat saji, minuman bergula, hingga polusi udara, terbukti secara ilmiah menimbulkan penyakit. Namun, tidak ada gambar kanker di botol bir atau kemasan mi instan. Tidak ada kampanye besar-besaran melawan gula sebagaimana melawan rokok.

Rokok dipilih sebagai musuh utama bukan karena risikonya unik, tetapi karena ia paling mudah dipajaki dan distigmatisasi. Negara bisa mendapatkan keuntungan fiskal sambil terlihat peduli pada kesehatan publik. 

Inilah bentuk tebang pilih risiko: kesehatan bukan alasan sebenarnya, melainkan topeng untuk kepentingan fiskal dan politik.

Sebagai perbandingan, di Indonesia, laporan State of Global Air 2019 menyebut bahwa pada 2017 polusi udara menjadi penyebab sekitar 123.800 kematian (gabungan polusi luar ruangan dan rumah tangga) di Indonesia. Angka ini menjadikan polusi sebagai faktor risiko kematian ke-6 di Indonesia.

Pada tingkat global, IQAir melaporkan bahwa pada 2021 sekitar 8,1 juta kematian di dunia terkait polusi udara (PM2.5), setara dengan konflik, penyakit menular, dan faktor risiko besar lainnya. Data ini menegaskan bahwa ancaman kesehatan publik jauh lebih luas daripada sekadar rokok.

Maka, melalui kebijakan terbaru Purbaya, muncul kesempatan untuk menggeser narasi: bukan hanya rokok yang harus dikontrol, tetapi polusi udara, kebersihan lingkungan, industri energi bersih, dan transportasi publik juga harus menjadi bagian dari kebijakan kesehatan publik yang komprehensif.

Dengan menyadari bahwa risiko kesehatan itu multikausal, publik dapat menolak klaim simplistik bahwa "rokok satu-satunya sumber masalah." Sebaliknya, kita menuntut kebijakan yang adil dan menyeluruh.

Stigma, Otonomi, dan Hak Individu

Selain aspek fiskal dan kesehatan, persoalan rokok juga menyentuh ranah otonomi individu. Setiap orang berhak menentukan gaya hidupnya, termasuk memilih untuk merokok. 

Negara seharusnya menghormati pilihan ini sepanjang tidak melanggar hak orang lain secara langsung. Namun, dengan dalih kesehatan publik, negara justru masuk terlalu jauh ke ranah privat.

Stigmatisasi perokok membuat mereka dipandang sebagai warga kelas dua. Padahal, mereka adalah kontributor utama bagi penerimaan negara melalui cukai besar. 

Stigma ini diperkuat oleh kampanye kesehatan yang menggambarkan perokok sebagai beban sosial. Narasi ini tidak hanya merendahkan martabat individu, tetapi juga menciptakan diskriminasi sosial yang sistematis.

Dalam masyarakat demokratis, kebebasan individu seharusnya dijunjung tinggi. Jika negara menggunakan kesehatan sebagai dalih untuk mengendalikan gaya hidup warganya, maka demokrasi itu sendiri dipertanyakan.

Oleh karena itu, kebijakan Purbaya dapat dibaca sebagai pengakuan terhadap hak otonomi. Dengan tidak menaikkan cukai, ia memberi ruang bagi masyarakat untuk membuat pilihan sendiri, tanpa ditekan oleh kebijakan fiskal yang bias moralitas.

Hak individu harus dijaga, bukan dikorbankan atas nama narasi kesehatan yang penuh kepentingan. Negara tidak boleh menjadi pengatur moral yang munafik, melainkan fasilitator yang adil bagi semua pilihan warga.

Purbaya Telah Membongkar Pola Kebijakan Munafik

Keputusan Purbaya Yudhi Sadewa untuk tidak menaikkan cukai rokok telah membuka tabir kemunafikan negara dalam isu kesehatan dan fiskal. 

Selama ini, rokok dijadikan kambing hitam untuk menjustifikasi kebijakan fiskal, sementara kontribusi riilnya, baik dalam penerimaan negara maupun subsidi terhadap sistem kesehatan, sering diabaikan. 

Narasi kesehatan yang digembar-gemborkan selama ini ternyata sarat bias, tebang pilih, dan sering kali hanya menjadi alat legitimasi bagi kepentingan tertentu.

Klaim "merokok merugikan kesehatan" tidak bisa diterima secara mutlak. Tapi, sarat simplifikasi, bias produksi pengetahuan, dan penuh kepentingan ekonomi-politik. 

Bahkan, ketika ditautkan dengan BPJS, tuduhan itu runtuh karena fakta menunjukkan bahwa cukai rokok secara signifikan melebihi defisit BPJS, dan bahwa beban kesehatan nasional adalah masalah sistemik, bukan tunggal pada rokok.

Purbaya telah membongkar wajah ganda negara: menikmati ratusan triliun dari cukai rokok sekaligus menyalahkan perokok atas nama kesehatan. Dengan menyatakan bahwa alasan kesehatan bisa ditempuh lewat jalur lain, ia menegaskan bahwa negara tidak boleh terus-menerus terjebak dalam hipokrisi. 

Kebijakan yang jujur dan adil harus dibangun di atas data yang komprehensif, bukan narasi yang dipaksakan.

Kini, tantangan bagi masyarakat adalah menjaga momentum ini. Publik harus kritis terhadap klaim-klaim kesehatan yang sarat kepentingan. 

Kesehatan memang penting, tetapi tidak boleh dijadikan instrumen untuk mengontrol warga dan menjustifikasi kebijakan munafik.

Dengan demikian, kebijakan Purbaya bukan sekadar soal fiskal. Ini adalah momentum politik untuk membongkar kemunafikan, membela keadilan fiskal, dan mengembalikan penghormatan atas hak individu. 

Rokok mungkin akan tetap diperdebatkan, tetapi yang pasti: wajah ganda rezim keuangan lama sudah terbongkar.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun