Purbaya dan Terobosan Kebijakan
Keputusan Purbaya Yudhi Sadewa untuk tidak menaikkan cukai rokok pada tahun 2026 menjadi penanda penting dalam arah kebijakan fiskal Indonesia.Â
Selama bertahun-tahun, negara cenderung memainkan wajah ganda: di satu sisi menikmati triliunan rupiah dari cukai rokok, namun di sisi lain menyudutkan rokok sebagai biang kerok masalah kesehatan.Â
Langkah Purbaya mengakhiri pola kebijakan tersebut, karena ia menyatakan bahwa alasan kesehatan bisa ditempuh lewat jalur lain tanpa harus menjadikan rokok sebagai kambing hitam fiskal.Â
Pernyataan ini seakan menjadi koreksi terbuka atas kemunafikan kebijakan sebelumnya: Negara seharusnya tidak menyandera industri rokok dan perokok dengan isu kesehatan untuk menjustifikasi kebijakan fiskal.
Di titik ini, langkah Purbaya lebih dari sekadar kebijakan ekonomi. Ini merupakan tindakan politik yang menggugat cara rezim keuangan sebelumnya dalam membangun legitimasi melalui narasi kesehatan.Â
Bahwa kesehatan itu penting, tidak ada yang menyangkal. Namun, menjadikannya dalih tunggal untuk menekan industri rokok dan perokok jelas merupakan praktik manipulatif yang sarat dengan kepentingan terselubung.
Karena itu, keputusan tidak menaikkan cukai rokok membuka ruang refleksi lebih luas. Menuntut publik untuk mengkaji kembali klaim-klaim kesehatan yang selama ini dikumandangkan secara berlebihan, tanpa pernah menimbang data secara komprehensif dan tanpa membedakan antara fakta medis dan propaganda moralistik yang munafik.
Klaim Kesehatan dan Validitas Ilmiah
Selama puluhan tahun, klaim bahwa "merokok merugikan kesehatan" terus dipropagandakan. Memang ada banyak studi epidemiologis yang mengaitkan konsumsi rokok dengan risiko kanker paru-paru, penyakit jantung, atau gangguan pernapasan.Â