Narasi tentang bahaya rokok tidak berdiri sendiri, melainkan diproduksi dalam jaringan kepentingan global. Organisasi internasional, lembaga donor, dan industri farmasi memiliki kepentingan besar dalam membentuk opini publik.Â
Semakin besar stigma terhadap rokok, semakin terbuka peluang bagi produk substitusi seperti vape, obat nikotin, atau terapi farmasi. Dengan kata lain, demonisasi rokok bukan hanya soal kesehatan, melainkan juga soal pasar.
Di Indonesia, bias ini tampak jelas ketika regulasi kesehatan sering kali merupakan copy-paste dari rekomendasi internasional tanpa memperhatikan konteks sosial-ekonomi lokal.Â
Negara yang semestinya melindungi kedaulatan petani tembakau justru menjadi perpanjangan tangan agenda global. Inilah yang menjadikan isu kesehatan berubah menjadi instrumen kolonialisme gaya baru.
Pengetahuan yang diproduksi secara bias juga menjebak masyarakat dalam ilusi moralitas. Perokok diposisikan sebagai individu tak bertanggung jawab yang membebani negara.Â
Padahal, fakta fiskal menunjukkan hal sebaliknya: perokok justru menyumbang triliunan rupiah melalui cukai. Tanpa kontribusi ini, pembiayaan kesehatan nasional, termasuk BPJS, akan terganggu.
Di sinilah tampak paradoks besar. Narasi kesehatan mengutuk perokok, tetapi institusi kesehatan bergantung pada uang yang mereka setorkan.Â
Jika itu bukan wajah ganda, lalu mau disebut apa? Purbaya dengan tepat menyebut bahwa alasan kesehatan bisa ditempuh lewat jalur lain, karena menjadikan rokok sebagai kambing hitam justru memperlihatkan kemunafikan negara.
Oleh sebab itu, kritik terhadap bias produksi pengetahuan harus terus didorong. Tanpa kritik, masyarakat hanya menjadi korban manipulasi, sementara kelompok kepentingan meraup keuntungan politik dan ekonomi di balik tirai jargon kesehatan.
Negara, Cukai, dan BPJS
Kontribusi rokok terhadap keuangan negara tidak bisa dipandang sebelah mata. Tahun demi tahun, penerimaan cukai rokok mencapai ratusan triliun rupiah.Â