Mohon tunggu...
Christanto Panglaksana
Christanto Panglaksana Mohon Tunggu... Penulis

Warga pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Tak Naikkan Cukai Rokok, Purbaya Bongkar Pola Kebijakan Rezim Lama

2 Oktober 2025   12:50 Diperbarui: 2 Oktober 2025   21:26 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa saat ditemui di Istana, Jakarta, Selasa (30/9/2025). (KOMPAS.com/ADHYASTA DIRGANTARA)

Misalnya, di tahun 2023, realisasi penerimaan dari cukai hasil tembakau mencapai sekitar Rp221,8 triliun. Dana ini bukan hanya menopang APBN, tetapi juga menjadi tulang punggung fiskal negara.

Sementara itu, beban keuangan BPJS juga sering menjadi kambing hitam kritikan. Di tahun 2024, BPJS Kesehatan dilaporkan mengalami defisit sebesar Rp 7,14 triliun berdasarkan data keuangan BPJS. Defisit semacam ini sering dikaitkan dengan meningkatnya klaim layanan kesehatan masyarakat. 

Namun, angka itu harus dilihat dalam konteks keseluruhan anggaran: jika defisit ini dibandingkan dengan penerimaan cukai sebesar Rp200 triliun lebih, jelas kontribusi rokok jauh lebih besar daripada beban yang dituduh.

Narasi bahwa rokok membebani BPJS juga menjadi jelas invalid bila diperbandingkan. Cukai rokok yang tinggi secara signifikan melampaui defisit BPJS yang relatif kecil. 

Dengan demikian, alih-alih membebani sistem kesehatan, perokok melalui cukai mereka sejatinya memberi kontribusi signifikan terhadap stabilitas keuangan sistem kesehatan publik.

Purbaya, dalam keputusannya untuk tidak menaikkan cukai rokok, mengingatkan publik agar tidak bermain dengan dalih kesehatan yang semu. Jika kesehatan publik dianggap prioritas, negara harus memperbaiki aspek manajemen BPJS, seperti kepesertaan aktif, efisiensi layanan, dan pengendalian klaim, bukan terus-menerus menyalahkan rokok.

Dalam relasi ini, isu rokok dan BPJS bukan sekadar soal kesehatan, tetapi soal keadilan fiskal dan transparansi moral negara.

Tebang Pilih Risiko dan Konstruksi Sosial

Jika logika kesehatan publik dijadikan tolok ukur, seharusnya semua faktor risiko diperlakukan sama. 

Alkohol, makanan cepat saji, minuman bergula, hingga polusi udara, terbukti secara ilmiah menimbulkan penyakit. Namun, tidak ada gambar kanker di botol bir atau kemasan mi instan. Tidak ada kampanye besar-besaran melawan gula sebagaimana melawan rokok.

Rokok dipilih sebagai musuh utama bukan karena risikonya unik, tetapi karena ia paling mudah dipajaki dan distigmatisasi. Negara bisa mendapatkan keuntungan fiskal sambil terlihat peduli pada kesehatan publik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun