Mohon tunggu...
Christanto Panglaksana
Christanto Panglaksana Mohon Tunggu... Penulis

Warga pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Tak Naikkan Cukai Rokok, Purbaya Bongkar Pola Kebijakan Rezim Lama

2 Oktober 2025   12:50 Diperbarui: 2 Oktober 2025   21:26 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa saat ditemui di Istana, Jakarta, Selasa (30/9/2025). (KOMPAS.com/ADHYASTA DIRGANTARA)

Inilah bentuk tebang pilih risiko: kesehatan bukan alasan sebenarnya, melainkan topeng untuk kepentingan fiskal dan politik.

Sebagai perbandingan, di Indonesia, laporan State of Global Air 2019 menyebut bahwa pada 2017 polusi udara menjadi penyebab sekitar 123.800 kematian (gabungan polusi luar ruangan dan rumah tangga) di Indonesia. Angka ini menjadikan polusi sebagai faktor risiko kematian ke-6 di Indonesia.

Pada tingkat global, IQAir melaporkan bahwa pada 2021 sekitar 8,1 juta kematian di dunia terkait polusi udara (PM2.5), setara dengan konflik, penyakit menular, dan faktor risiko besar lainnya. Data ini menegaskan bahwa ancaman kesehatan publik jauh lebih luas daripada sekadar rokok.

Maka, melalui kebijakan terbaru Purbaya, muncul kesempatan untuk menggeser narasi: bukan hanya rokok yang harus dikontrol, tetapi polusi udara, kebersihan lingkungan, industri energi bersih, dan transportasi publik juga harus menjadi bagian dari kebijakan kesehatan publik yang komprehensif.

Dengan menyadari bahwa risiko kesehatan itu multikausal, publik dapat menolak klaim simplistik bahwa "rokok satu-satunya sumber masalah." Sebaliknya, kita menuntut kebijakan yang adil dan menyeluruh.

Stigma, Otonomi, dan Hak Individu

Selain aspek fiskal dan kesehatan, persoalan rokok juga menyentuh ranah otonomi individu. Setiap orang berhak menentukan gaya hidupnya, termasuk memilih untuk merokok. 

Negara seharusnya menghormati pilihan ini sepanjang tidak melanggar hak orang lain secara langsung. Namun, dengan dalih kesehatan publik, negara justru masuk terlalu jauh ke ranah privat.

Stigmatisasi perokok membuat mereka dipandang sebagai warga kelas dua. Padahal, mereka adalah kontributor utama bagi penerimaan negara melalui cukai besar. 

Stigma ini diperkuat oleh kampanye kesehatan yang menggambarkan perokok sebagai beban sosial. Narasi ini tidak hanya merendahkan martabat individu, tetapi juga menciptakan diskriminasi sosial yang sistematis.

Dalam masyarakat demokratis, kebebasan individu seharusnya dijunjung tinggi. Jika negara menggunakan kesehatan sebagai dalih untuk mengendalikan gaya hidup warganya, maka demokrasi itu sendiri dipertanyakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun