Mohon tunggu...
Christanto Panglaksana
Christanto Panglaksana Mohon Tunggu... Penulis

Warga pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Apapun Nama Generasinya, Sajiannya Tetap Buatan

25 September 2025   01:17 Diperbarui: 25 September 2025   01:17 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi generasi Z (Kompas.com/Apptus)

Generasi Bukan Realitas Alamiah

Kita sering mendengar pembagian usia ke dalam kategori generasi: Baby Boomers, Generasi X, Milenial, dan kini Gen Z. Sekilas, klasifikasi ini terdengar netral, bahkan ilmiah. Ada kesan seolah setiap rentang tahun kelahiran memunculkan kelompok manusia yang homogen, dengan sifat dan perilaku khas. 

Kategorisasi ini tentu menyesatkan. Generasi bukanlah fakta biologis atau realitas alamiah. Ia adalah hasil konstruksi sosial yang dibentuk oleh aktor-aktor tertentu (media, lembaga riset, perusahaan, dan negara) yang punya kepentingan di balik kategorisasi tersebut.

Di sinilah letak masalah dengan cara kita membicarakan Gen Z hari ini. Alih-alih memahami mereka sebagai kelompok dengan beragam posisi sosial, Gen Z diperlakukan seperti identitas homogen yang ditentukan hanya oleh tahun kelahiran. 

Narasi semacam itu dipopulerkan bukan oleh penelitian akademik serius, melainkan oleh laporan riset pasar dan strategi pemasaran. Dengan kata lain, sejak awal kategori generasi tidak bebas nilai, melainkan alat untuk tujuan ekonomi dan politik.

Label seperti "Gen Z digital native" atau "Gen Z lebih peduli lingkungan" lebih mencerminkan konstruksi diskursif daripada realitas alamiah. Tidak semua anak muda lahir dengan akses teknologi digital; banyak yang justru terpinggirkan dari narasi itu. 

Tapi, label "digital native" membuat seolah semua Gen Z hidup dalam dunia yang sama. Ini cara halus untuk menyatukan keragaman sosial ke dalam satu identitas yang mudah dijual dan diatur.

Bahaya dari melihat generasi sebagai fakta netral adalah bahwa kita lupa menanyakan pertanyaan yang lebih penting: siapa yang diuntungkan dengan definisi itu? Mengapa Gen Z diperlakukan seolah-olah berbeda secara mendasar dari Milenial, padahal keduanya sama-sama hidup dalam pusaran neoliberalisme global? Pertanyaan semacam ini membuka ruang kritik yang lebih tajam, ketimbang sekadar menerima generasi sebagai realitas yang sudah jadi.

Dengan demikian, sangatlah penting kita tidak menerima begitu saja klaim tentang Gen Z sebagai entitas objektif. Kita perlu menelisik siapa yang mendefinisikan mereka, dalam konteks apa, dan untuk tujuan apa. 

Generasi, termasuk Gen Z, adalah hasil produksi simbolik dalam masyarakat sehingga bisa menjadi alat kontrol, sekaligus sumber legitimasi bagi kekuasaan di lini mana pun.

Media dan Produksi Citra Gen Z

Jika kita melihat mengapa Gen Z begitu sering menjadi bahan pembicaraan, jawabannya terletak pada peran media. Media massa dan media sosial memproduksi citra Gen Z dengan intensitas jauh lebih besar dibanding generasi sebelumnya. 

Generasi Z disebut "rewel," "mudah tersinggung," tapi juga "kreatif" dan "berani." Ambivalensi inilah yang membuat mereka menarik: selalu ada sisi kontras yang bisa diperdebatkan, sehingga media mendapat bahan konten tanpa henti.

Citra-citra ini sering bersumber dari survei dangkal, laporan riset pasar, atau sekadar tren viral di TikTok dan Instagram. Namun, begitu disebarkan berulang-ulang, narasi itu seolah menjadi "kebenaran" publik. 

Gen Z diposisikan sebagai kelompok yang unik, berbeda, dan karenanya layak diperlakukan khusus. Padahal, basis data untuk klaim-klaim ini sering rapuh.

Kita bisa lihat bagaimana logika ekonomi perhatian bekerja. Media selalu mencari tema segar yang bisa menarik klik dan interaksi. Menyoroti Gen Z, apalagi dengan label kontroversial, lebih menjual ketimbang membicarakan isu struktural seperti ketidaksetaraan ekonomi atau krisis demokrasi. 

Maka lahirlah headline seperti "Gen Z tak mau kerja kantoran" atau "Gen Z lebih suka work-life balance daripada karier." Pernyataan ini diperlakukan seolah-olah mencerminkan kebenaran universal, padahal sering hanya berasal dari riset terbatas pada segmen menengah kota.

Dengan memproduksi narasi itu, media sebenarnya sedang membentuk realitas sosial. Foucault menyebut mekanisme ini sebagai regime of truth: kebenaran tidak hanya lahir dari data, melainkan dari siapa yang mendefinisikannya. 

Media, dengan kapasitas menyebarkan representasi luas, membuat Gen Z tampak nyata sebagai kategori homogen, padahal kenyataannya jauh lebih kompleks.

Citra ambivalen Gen Z juga menguntungkan media. Ketika dipuji, mereka dianggap "generasi masa depan" yang progresif; ketika dicela, mereka diposisikan sebagai simbol dekadensi. Dua narasi yang bertolak belakang ini membuat isu tentang Gen Z tak pernah habis, karena selalu bisa diperdebatkan.

Tak pelak, Gen Z bukan hanya dipotret oleh media, tetapi juga diproduksi olehnya. Mereka menjadi "objek wacana" yang hadir bukan karena realitas sosialnya jelas, melainkan karena diskursus terus-menerus menghidupkan mereka.

Pasar dan Komodifikasi Identitas Generasi

Jika media adalah mesin produksi citra, maka pasar adalah mesin komodifikasi. Korporasi melihat Gen Z bukan hanya sebagai kelompok usia, tetapi sebagai segmen konsumen yang menggiurkan. 

Dari sinilah lahir stereotip bahwa Gen Z lebih suka produk ramah lingkungan, lebih memilih pengalaman ketimbang kepemilikan, atau lebih loyal pada merek yang punya "purpose."

Sebenarnya, klaim ini lahir dari survei pemasaran yang memang dirancang untuk tujuan komersial. Tapi, hasil survei itu kemudian dipublikasikan seolah-olah merupakan kebenaran universal, dan menjadi bahan bagi media maupun pemerintah untuk membicarakan Gen Z. 

Di sini, ekonomi dan wacana saling menguatkan: survei menciptakan stereotip, media menyebarkannya, lalu korporasi menjual produk sesuai stereotip itu.

Komodifikasi ini mengabaikan ketimpangan kelas di dalam Gen Z sendiri. Tidak semua Gen Z bisa membeli produk "sustainable" atau ikut dalam tren digital. 

Seorang anak muda di pedesaan dengan akses terbatas jelas punya pengalaman berbeda dengan anak muda kosmopolitan di kota besar. Tapi, narasi homogen membuat mereka seolah-olah sama.

Pierre Bourdieu menyebut mekanisme ini sebagai symbolic violence: kekerasan simbolik yang membuat pihak lemah menerima kategori dominan sebagai hal yang wajar. 

Ketika Gen Z digambarkan sebagai "anak muda digital," mereka yang tertinggal justru merasa bersalah, seolah tidak memenuhi standar generasinya. Padahal, masalah utamanya adalah ketidaksetaraan struktural, bukan "ketertinggalan" individu.

Dengan cara ini, pasar membentuk identitas generasi sebelum anak muda mendefinisikan dirinya sendiri. Identitas tidak lahir dari pengalaman, melainkan dari logika kapital. Konsumen diposisikan sebagai "Gen Z" lebih dulu, lalu diarahkan untuk membeli produk tertentu agar sesuai dengan label tersebut.

Gen Z, dalam kacamata ini, lebih merupakan ciptaan pasar ketimbang fenomena budaya. Mereka adalah segmen yang diproduksi, bukan ditemukan. Apa yang disebut "karakter generasi" hanyalah cermin dari strategi kapitalisme kontemporer.

Homogenisasi dan Penghapusan Perbedaan

Narasi tentang Gen Z sebagai generasi digital, progresif, dan penuh kreativitas juga memiliki efek homogenisasi. Mereka diperlakukan sebagai kelompok seragam, padahal kenyataannya penuh keragaman. 

Homogenisasi ini berfungsi menutupi perbedaan kelas, gender, etnis, dan geografi yang sebenarnya menentukan pengalaman hidup seseorang jauh lebih kuat daripada sekadar tahun kelahiran.

Perbedaan kelas, misalnya, sangat menentukan. Gen Z dari keluarga kaya punya akses pendidikan, modal sosial, dan peluang ekonomi yang besar. Mereka bisa membangun startup atau belajar di luar negeri. Sedangkan Gen Z kelas pekerja harus menghadapi realitas kerja kasar, upah rendah, atau pengangguran. Namun, label "Gen Z entrepreneur" atau "Gen Z pekerja kreatif" menghapus jurang sosial ini.

Gender juga memainkan peran besar. Gen Z perempuan menghadapi tantangan yang berbeda, termasuk beban ganda di rumah tangga, pelecehan online, atau diskriminasi di tempat kerja. Tapi, ketika generasi dilihat sebagai homogen, isu-isu ini hilang dari narasi publik. Seolah-olah pengalaman perempuan sama saja dengan laki-laki hanya karena mereka lahir di tahun yang sama.

Perbedaan geografis juga penting. Gen Z di Jakarta tidak sama dengan Gen Z di Nusa Tenggara, atau Gen Z di Afrika atau Asia Selatan. Namun, label "digital native" menghapus perbedaan ini. Menciptakan kesan seolah semua anak muda di dunia hidup dalam kondisi digital yang serupa, padahal jurang digitalisasi sangat lebar.

Homogenisasi ini bukan kebetulan, melainkan strategi ideologis. Dengan menyamakan semua orang dalam satu kategori, wacana dominan bisa mengabaikan kompleksitas sosial. Menyajikan dunia yang tampak sederhana dan mudah dipasarkan.

Homogenisasi membuat kita lupa bahwa generasi bukanlah identitas tunggal. Pada kenyataannya, selalu bersilangan dengan faktor lain: kelas, gender, etnisitas, dan lokasi. Tanpa memahami persilangan ini, kita akan terjebak dalam mitos generasi yang menutupi kenyataan struktural.

Politik Representasi Gen Z

Selain pasar, politik juga memanfaatkan kategori Gen Z. Pemerintah dan partai politik melihat anak muda sebagai "masa depan bangsa," sehingga berbagai kebijakan diarahkan dengan mengatasnamakan mereka. Mulai dari program digitalisasi sekolah, pelatihan startup, hingga inkubasi wirausaha muda, semua dibungkus dengan bahasa aspirasi Gen Z.

Namun, siapa sebenarnya yang paling diuntungkan dari program-program itu? Banyak kebijakan yang dipasarkan sebagai "untuk Gen Z" ternyata lebih menguntungkan investor, korporasi teknologi, atau elite ekonomi. 

Gen Z hanya dijadikan simbol legitimasi. Narasi bahwa "anak muda butuh digitalisasi," misalnya, sering berakhir pada kontrak besar dengan perusahaan perangkat atau platform teknologi.

Dalam politik, representasi Gen Z sering bekerja melalui bahasa optimisme. Anak muda diposisikan sebagai harapan, sebagai energi baru. 

Tapi, di sisi lain, mereka juga sering disalahkan jika keadaan memburuk: dianggap rapuh, gampang menyerah, atau tidak mau bekerja keras. Representasi ganda ini memungkinkan elite politik untuk memainkan narasi sesuai kebutuhan.

Contohnya, dalam isu ketenagakerjaan. Alih-alih mengakui bahwa pasar kerja makin eksploitatif, narasi publik menggeser masalah ke individu: "Gen Z terlalu pilih-pilih kerja." Ini adalah bentuk blaming the victim, yang menutupi krisis struktural di balik label generasi.

Politik representasi ini menunjukkan bagaimana generasi berfungsi sebagai instrumen ideologis. Membuat kebijakan neoliberal terlihat progresif, karena dikaitkan dengan aspirasi anak muda. Pada saat yang sama, menutupi realitas pahit ketimpangan dan eksploitasi.

Gen Z, dalam hal ini, bukan subjek yang menentukan arah hidupnya, melainkan objek yang didefinisikan oleh kekuasaan. Identitas mereka diproduksi sebagai alat legitimasi, bukan hasil pilihan bebas.

Generasi sebagai Arena Pertarungan Wacana

Jika kita perhatikan lebih jauh, setiap generasi sebenarnya merupakan arena pertarungan wacana. Milenial pernah dicap malas, manja, tapi juga kreatif dan adaptif. Kini giliran Gen Z menempati posisi itu. Pola ini menunjukkan bahwa generasi adalah tanda kosong yang bisa diisi makna berbeda sesuai kepentingan.

Narasi negatif tentang Gen Z bahwa mereka rapuh, mudah tersinggung, dan tidak tahan banting, berfungsi sebagai alat disiplin sosial. Menekan anak muda agar menyesuaikan diri dengan standar lama. Sementara narasi positif, misalnya bahwa mereka kreatif, inovatif, dan peduli lingkungan, berfungsi untuk memobilisasi mereka ke arah proyek-proyek neoliberal atau kepentingan politik yang dikemas progresif.

Kedua narasi ini bukan kebenaran netral, melainkan strategi kuasa. Generasi selalu diproduksi melalui tarik-menarik kepentingan di antara aktor dominan: negara, korporasi, media, dan bahkan aktivis. Dalam setiap pertarungan itu, makna generasi bisa bergeser, tapi yang pasti: tidak pernah bebas dari politik.

Foucault mengingatkan bahwa kuasa dan pengetahuan saling terkait. Definisi tentang siapa itu Gen Z bukan pengetahuan objektif, tetapi sebentuk kuasa untuk mengatur perilaku dan aspirasi mereka. Generasi menjadi bagian dari "rezim kebenaran" yang mengikat.

Maka, alih-alih melihat Gen Z sebagai fakta, kita lebih tepat memahaminya sebagai efek diskursif. Mereka hadir dalam bentuk yang kita kenal bukan karena realitasnya sederhana, tetapi karena wacana dominan membentuknya demikian.

Dengan perspektif ini, generasi menjadi cermin dari relasi kuasa dalam masyarakat. Apa yang tampak sebagai "karakter generasi" sebenarnya adalah refleksi dari pertarungan ekonomi, politik, dan budaya.

Dari Generasi ke Struktur

Akhirnya, kita harus bertanya: apa gunanya kritik terhadap konsep generasi ini? Jawabannya sederhana: agar kita tidak terjebak dalam mitos yang mengalihkan perhatian dari struktur sosial yang sebenarnya juga menentukan hidup kita.

Gen Z bukanlah entitas homogen yang bisa didefinisikan secara tunggal. Mereka adalah individu-individu dengan posisi sosial yang berbeda-beda, dipengaruhi oleh kelas, gender, etnisitas, dan lokasi. Tapi, ketika label "Gen Z" diperlakukan sebagai realitas alamiah, perbedaan ini menghilang, dan masalah struktural ikut tersembunyi.

Dengan mengalihkan perhatian ke "karakter generasi," kita lupa membicarakan isu besar: neoliberalisme yang semakin eksploitatif, ketidaksetaraan kelas yang melebar, krisis iklim yang makin akut, atau demokrasi yang terus melemah. Semua masalah ini direduksi menjadi soal "mentalitas Gen Z."

Maka, kita perlu menggeser fokus dari generasi ke struktur. Pertanyaan penting bukanlah "siapa itu Gen Z?", melainkan "siapa yang diuntungkan dengan definisi Gen Z sebagai begini atau begitu?" Pertanyaan ini menyingkap relasi kuasa yang bersembunyi di balik narasi populer.

Dengan perspektif itu, kita bisa melampaui jebakan homogenisasi. Kita bisa melihat anak muda bukan sebagai satu blok generasi, tetapi sebagai kelompok yang beragam, yang menghadapi struktur sosial berbeda. Hanya dengan cara ini, kita bisa memahami kondisi nyata mereka.

Akhirnya, generasi hanyalah cermin kabur. Apapun nama generasinya, sajiannya tetap buatan. Yang lebih penting untuk kita bongkar adalah struktur sosial yang menentukan siapa yang berkuasa, siapa yang diuntungkan, dan siapa yang dimarginalkan.

Tanpa itu, pembicaraan tentang Gen Z akan selalu jatuh pada mitos. Dan, kita tahu, mitos lebih sering bekerja untuk melanggengkan status quo daripada membebaskan manusia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun