Homogenisasi dan Penghapusan Perbedaan
Narasi tentang Gen Z sebagai generasi digital, progresif, dan penuh kreativitas juga memiliki efek homogenisasi. Mereka diperlakukan sebagai kelompok seragam, padahal kenyataannya penuh keragaman.Â
Homogenisasi ini berfungsi menutupi perbedaan kelas, gender, etnis, dan geografi yang sebenarnya menentukan pengalaman hidup seseorang jauh lebih kuat daripada sekadar tahun kelahiran.
Perbedaan kelas, misalnya, sangat menentukan. Gen Z dari keluarga kaya punya akses pendidikan, modal sosial, dan peluang ekonomi yang besar. Mereka bisa membangun startup atau belajar di luar negeri. Sedangkan Gen Z kelas pekerja harus menghadapi realitas kerja kasar, upah rendah, atau pengangguran. Namun, label "Gen Z entrepreneur" atau "Gen Z pekerja kreatif" menghapus jurang sosial ini.
Gender juga memainkan peran besar. Gen Z perempuan menghadapi tantangan yang berbeda, termasuk beban ganda di rumah tangga, pelecehan online, atau diskriminasi di tempat kerja. Tapi, ketika generasi dilihat sebagai homogen, isu-isu ini hilang dari narasi publik. Seolah-olah pengalaman perempuan sama saja dengan laki-laki hanya karena mereka lahir di tahun yang sama.
Perbedaan geografis juga penting. Gen Z di Jakarta tidak sama dengan Gen Z di Nusa Tenggara, atau Gen Z di Afrika atau Asia Selatan. Namun, label "digital native" menghapus perbedaan ini. Menciptakan kesan seolah semua anak muda di dunia hidup dalam kondisi digital yang serupa, padahal jurang digitalisasi sangat lebar.
Homogenisasi ini bukan kebetulan, melainkan strategi ideologis. Dengan menyamakan semua orang dalam satu kategori, wacana dominan bisa mengabaikan kompleksitas sosial. Menyajikan dunia yang tampak sederhana dan mudah dipasarkan.
Homogenisasi membuat kita lupa bahwa generasi bukanlah identitas tunggal. Pada kenyataannya, selalu bersilangan dengan faktor lain: kelas, gender, etnisitas, dan lokasi. Tanpa memahami persilangan ini, kita akan terjebak dalam mitos generasi yang menutupi kenyataan struktural.
Politik Representasi Gen Z
Selain pasar, politik juga memanfaatkan kategori Gen Z. Pemerintah dan partai politik melihat anak muda sebagai "masa depan bangsa," sehingga berbagai kebijakan diarahkan dengan mengatasnamakan mereka. Mulai dari program digitalisasi sekolah, pelatihan startup, hingga inkubasi wirausaha muda, semua dibungkus dengan bahasa aspirasi Gen Z.
Namun, siapa sebenarnya yang paling diuntungkan dari program-program itu? Banyak kebijakan yang dipasarkan sebagai "untuk Gen Z" ternyata lebih menguntungkan investor, korporasi teknologi, atau elite ekonomi.Â