Media dan Produksi Citra Gen Z
Jika kita melihat mengapa Gen Z begitu sering menjadi bahan pembicaraan, jawabannya terletak pada peran media. Media massa dan media sosial memproduksi citra Gen Z dengan intensitas jauh lebih besar dibanding generasi sebelumnya.Â
Generasi Z disebut "rewel," "mudah tersinggung," tapi juga "kreatif" dan "berani." Ambivalensi inilah yang membuat mereka menarik: selalu ada sisi kontras yang bisa diperdebatkan, sehingga media mendapat bahan konten tanpa henti.
Citra-citra ini sering bersumber dari survei dangkal, laporan riset pasar, atau sekadar tren viral di TikTok dan Instagram. Namun, begitu disebarkan berulang-ulang, narasi itu seolah menjadi "kebenaran" publik.Â
Gen Z diposisikan sebagai kelompok yang unik, berbeda, dan karenanya layak diperlakukan khusus. Padahal, basis data untuk klaim-klaim ini sering rapuh.
Kita bisa lihat bagaimana logika ekonomi perhatian bekerja. Media selalu mencari tema segar yang bisa menarik klik dan interaksi. Menyoroti Gen Z, apalagi dengan label kontroversial, lebih menjual ketimbang membicarakan isu struktural seperti ketidaksetaraan ekonomi atau krisis demokrasi.Â
Maka lahirlah headline seperti "Gen Z tak mau kerja kantoran" atau "Gen Z lebih suka work-life balance daripada karier." Pernyataan ini diperlakukan seolah-olah mencerminkan kebenaran universal, padahal sering hanya berasal dari riset terbatas pada segmen menengah kota.
Dengan memproduksi narasi itu, media sebenarnya sedang membentuk realitas sosial. Foucault menyebut mekanisme ini sebagai regime of truth: kebenaran tidak hanya lahir dari data, melainkan dari siapa yang mendefinisikannya.Â
Media, dengan kapasitas menyebarkan representasi luas, membuat Gen Z tampak nyata sebagai kategori homogen, padahal kenyataannya jauh lebih kompleks.
Citra ambivalen Gen Z juga menguntungkan media. Ketika dipuji, mereka dianggap "generasi masa depan" yang progresif; ketika dicela, mereka diposisikan sebagai simbol dekadensi. Dua narasi yang bertolak belakang ini membuat isu tentang Gen Z tak pernah habis, karena selalu bisa diperdebatkan.
Tak pelak, Gen Z bukan hanya dipotret oleh media, tetapi juga diproduksi olehnya. Mereka menjadi "objek wacana" yang hadir bukan karena realitas sosialnya jelas, melainkan karena diskursus terus-menerus menghidupkan mereka.