Mohon tunggu...
Christanto Panglaksana
Christanto Panglaksana Mohon Tunggu... Penulis

Warga pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Membuang Makanan, Membuang Siapa? Menggugat Tirani Limbah Pangan

23 September 2025   09:26 Diperbarui: 23 September 2025   09:26 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi buang makanan atau limbah makanan. (Kompas.com/Dok. Shutterstock/nito)

Momen 29 September: Dari Simbol ke Kritik Sosial

Tanggal 29 September setiap tahun ditetapkan sebagai Hari Kesadaran Internasional tentang Kehilangan dan Pemborosan Pangan (International Day of Awareness of Food Loss and Waste/IDAFLW). Peringatan global ini menandai kesadaran kolektif bahwa kehilangan dan pemborosan pangan adalah masalah serius yang mengancam dunia.

Namun, di Indonesia, peringatan ini belum sepenuhnya dipahami sebagai isu mendesak. Sering berhenti pada seremoni dan kampanye publik yang cepat dilupakan setelah momen lewat. Padahal, bagi negeri yang menyebut diri agraris, IDAFLW seharusnya menjadi alarm moral dan politik yang mengguncang.

IDAFLW tidak boleh dipandang sekadar upacara simbolis, tetapi harus menjadi momen kritik sosial. Sebab, realitas di lapangan menunjukkan kontradiksi besar: produksi kita melimpah, tetapi kita juga membuang dalam jumlah masif.

Indonesia bahkan masuk dalam jajaran negara dengan pemborosan pangan terbesar di dunia. Ironi ini menuntut refleksi: apakah kita sudah terlalu terbiasa menganggap makanan sebagai benda biasa, bukan sebagai penopang kehidupan?

Hari kesadaran internasional ini juga menyingkap dimensi ketidakadilan global. Negara-negara maju yang menciptakan standar estetika pangan menularkan logika konsumsi berlebih ke negara-negara berkembang.

Supermarket menolak buah yang tidak sempurna, restoran membuang makanan sisa tanpa peduli pada kelaparan di sekitarnya. Dalam konteks itu, IDAFLW menantang kita untuk tidak sekadar bersyukur atas makanan, tetapi juga melawan sistem pangan yang timpang.

Lebih jauh, momen 29 September bisa menjadi ruang refleksi tentang relasi kita dengan pangan. Apakah kita melihat makanan sekadar sebagai komoditas ekonomi, atau sebagai hak dasar manusia? Apakah kita mengukur keberhasilan pembangunan dari banyaknya produksi, atau dari sejauh mana pangan itu sampai pada semua warga? 

Pertanyaan-pertanyaan itu membuka kesadaran kita bahwa makanan yang dibuang adalah cermin dari kegagalan kolektif.

Namun, penting ditekankan: peringatan global ini tidak akan berarti tanpa aksi lokal. Kesadaran internasional hanya akan jadi teks kosong jika tidak diikuti kebijakan konkret di tingkat negara dan perubahan perilaku di tingkat warga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun