Oleh sebab itu, menghindari kamuflase menjadi tugas utama. Sumitronomics harus membuktikan secara nyata bahwa rakyat luas, bukan hanya elite, yang menikmati hasil dari program-program ekonomi nasional.Â
Jika tidak, Sumitronomics akan runtuh menjadi sekadar simbolisme, sementara struktur neoliberalisme tetap kokoh berdiri di balik topeng nasionalisme.
Belajar dari Jokowinomics: Nasionalisme Semu dalam Pelukan Oligarki
Dalam menganalisis prospek Sumitronomics, tidak bisa diabaikan pelajaran dari Jokowinomics yang mendominasi lanskap ekonomi-politik Indonesia selama satu dekade terakhir.Â
Jokowinomics pada awalnya dipromosikan sebagai paradigma pembangunan yang menekankan hilirisasi, pembangunan infrastruktur besar-besaran, dan kemandirian ekonomi.Â
Namun, dalam praktiknya, ia lebih sering dipuji bukan karena kedaulatan, melainkan karena kemampuannya mengakomodasi logika neoliberalisme sambil tetap menjaga wajah populis di dalam negeri.Â
Hal ini menciptakan kesan seolah-olah Indonesia sedang melakukan perlawanan terhadap pasar global, padahal sesungguhnya memperdalam integrasi ke dalamnya.
Proyek-proyek infrastruktur raksasa yang dijalankan di bawah Jokowinomics banyak mengandalkan pembiayaan utang, baik dari institusi global maupun negara mitra seperti Tiongkok.Â
Ketergantungan pada utang dan investasi asing menandakan bahwa kedaulatan ekonomi yang dijanjikan masih bergantung pada modal luar negeri.Â
Dengan demikian, retorika kemandirian ternyata bertransformasi menjadi ketergantungan baru yang justru mengunci Indonesia dalam pola neoliberalisme global.
Selain itu, hilirisasi sumber daya alam yang menjadi ikon Jokowinomics memang memberikan nilai tambah di dalam negeri, tetapi struktur kepemilikannya tetap berpihak pada oligarki besar.Â