Risiko Kamuflase: Neoliberalisme Berbaju Nasionalisme
Bahaya utama Sumitronomics adalah terjebak menjadi neoliberalisme berkedok nasionalisme.Â
Hilirisasi, misalnya, bisa sekadar memindahkan titik ekstraksi tanpa mengubah struktur ekonomi. Ketergantungan pada ekspor mineral olahan, investasi asing, dan teknologi luar negeri membuat kedaulatan ekonomi tetap semu.Â
Nilai tambah terbesar bisa saja tetap mengalir ke perusahaan transnasional, sementara pekerja lokal hanya mendapat peran subordinat.
Dalam skenario ini, intervensi negara tidak otomatis berarti kemandirian. Justru, negara berpotensi menjadi alat bagi oligarki domestik untuk menguasai sektor strategis.Â
Narasi "kedaulatan" bisa digunakan untuk membenarkan kebijakan yang sebenarnya hanya memperbesar akumulasi kapital kelompok elite.Â
Dengan kata lain, Sumitronomics berisiko menjadi neoliberalisme oligarkis: nasionalisme dijadikan legitimasi, tetapi praktiknya tetap hanya menguntungkan segelintir orang.
Masalah lingkungan dan sosial juga bisa menjadi titik rapuh. Jika industrialisasi dilakukan dengan mengorbankan kelestarian alam, merampas tanah masyarakat adat, atau meminggirkan petani kecil, Sumitronomics tidak hanya gagal melawan neoliberalisme, tetapi justru menambah beban rakyat.Â
Kemandirian nasional tidak boleh dibangun di atas penderitaan warga yang menjadi basis bangsa itu sendiri.
Ironisnya, narasi nasionalisme ekonomi sering kali lebih sulit dipersoalkan dibanding retorika neoliberal yang terang-terangan pro-pasar.Â
Jika neoliberalisme bisa dikritik karena menyerahkan bangsa pada asing, nasionalisme ekonomi yang dikooptasi oligarki justru bisa lebih berbahaya: menutup ruang kritik dengan dalih kedaulatan. Dengan demikian, risiko Sumitronomics bukan hanya gagal, tetapi juga memperkuat konsolidasi oligarki.