Mohon tunggu...
Christanto Panglaksana
Christanto Panglaksana Mohon Tunggu... Penulis

Warga pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Politik

Uji Nyali Sumitronomics: Berdaulat atau Jatuh dalam Pelukan Neoliberalisme

24 September 2025   15:14 Diperbarui: 24 September 2025   15:27 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumitro Djojohadikusumo, cikal bakal gagasan Sumitronomics. Juga ayahanda dari Presiden Prabowo Subianto. (Kompas.com/Kementerian Keuangan RI)

Hegemoni Neoliberalisme dan Pencarian Jalan Alternatif

Sejak dekade 1980-an, neoliberalisme menjadi paradigma dominan dalam tata ekonomi global. Ia menekankan deregulasi, privatisasi, liberalisasi perdagangan, dan penyingkiran peran negara dari kehidupan ekonomi. Lembaga internasional seperti IMF, Bank Dunia, dan WTO berfungsi sebagai instrumen untuk menyebarkan dan memaksakan doktrin ini. 

Indonesia sendiri menjadi laboratorium penerapan neoliberalisme setelah krisis 1997-1998, ketika paket bantuan IMF mensyaratkan liberalisasi sektor keuangan, penghapusan subsidi publik, dan privatisasi BUMN. Akibatnya, peran negara menyusut, sementara pasar dan modal asing mengambil posisi dominan.

Namun, neoliberalisme tidak pernah sepi dari kritik. Di banyak negara, ia dituding memperdalam ketimpangan sosial, memperlemah kapasitas negara, dan menjerat bangsa-bangsa berkembang dalam siklus ketergantungan utang. 

Gelombang protes melawan WTO, munculnya gerakan "alter-globalization", hingga lahirnya eksperimen post-neoliberalism di Amerika Latin menandakan keresahan global terhadap model ini. Dunia tampak haus akan alternatif, meskipun itu bukan perkara mudah.

Di Indonesia, konteks ini melahirkan ruang bagi gagasan ekonomi nasional yang berbeda. Salah satunya adalah apa yang dikenal sebagai "Sumitronomics", sebuah istilah yang dilekatkan pada visi ekonomi Presiden Prabowo. 

Sumitronomics menekankan kemandirian nasional, industrialisasi berbasis sumber daya domestik, swasembada pangan dan energi, serta intervensi negara dalam sektor strategis. Narasi yang digunakan jelas kontras dengan neoliberalisme yang cenderung menyerahkan kendali pada mekanisme pasar.

Namun, konteks global tetap membatasi ruang gerak. Sumitronomics hadir dalam dunia yang masih sangat neoliberal: aturan perdagangan WTO, dominasi korporasi multinasional, dan rezim investasi global yang berlandaskan kepastian hukum bagi modal asing. 

Dengan demikian, dilema muncul: apakah Sumitronomics bisa benar-benar berdaulat, atau akhirnya jatuh dalam pelukan neoliberalisme yang coba ia lawan?

Pertanyaan itulah yang menjadi kunci untuk menguji nyali Sumitronomics. Untuk menjawabnya, kita perlu menelaah karakter dasarnya, potensi risikonya, tantangan domestik maupun global, serta peluang menjadi antitesis substantif yang dapat membuktikan gagasan ini bukan sekadar wajah baru neoliberalisme.

Karakter Dasar Sumitronomics: Narasi Nasionalisme Ekonomi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun