Hegemoni Neoliberalisme dan Pencarian Jalan Alternatif
Sejak dekade 1980-an, neoliberalisme menjadi paradigma dominan dalam tata ekonomi global. Ia menekankan deregulasi, privatisasi, liberalisasi perdagangan, dan penyingkiran peran negara dari kehidupan ekonomi. Lembaga internasional seperti IMF, Bank Dunia, dan WTO berfungsi sebagai instrumen untuk menyebarkan dan memaksakan doktrin ini.Â
Indonesia sendiri menjadi laboratorium penerapan neoliberalisme setelah krisis 1997-1998, ketika paket bantuan IMF mensyaratkan liberalisasi sektor keuangan, penghapusan subsidi publik, dan privatisasi BUMN. Akibatnya, peran negara menyusut, sementara pasar dan modal asing mengambil posisi dominan.
Namun, neoliberalisme tidak pernah sepi dari kritik. Di banyak negara, ia dituding memperdalam ketimpangan sosial, memperlemah kapasitas negara, dan menjerat bangsa-bangsa berkembang dalam siklus ketergantungan utang.Â
Gelombang protes melawan WTO, munculnya gerakan "alter-globalization", hingga lahirnya eksperimen post-neoliberalism di Amerika Latin menandakan keresahan global terhadap model ini. Dunia tampak haus akan alternatif, meskipun itu bukan perkara mudah.
Di Indonesia, konteks ini melahirkan ruang bagi gagasan ekonomi nasional yang berbeda. Salah satunya adalah apa yang dikenal sebagai "Sumitronomics", sebuah istilah yang dilekatkan pada visi ekonomi Presiden Prabowo.Â
Sumitronomics menekankan kemandirian nasional, industrialisasi berbasis sumber daya domestik, swasembada pangan dan energi, serta intervensi negara dalam sektor strategis. Narasi yang digunakan jelas kontras dengan neoliberalisme yang cenderung menyerahkan kendali pada mekanisme pasar.
Namun, konteks global tetap membatasi ruang gerak. Sumitronomics hadir dalam dunia yang masih sangat neoliberal: aturan perdagangan WTO, dominasi korporasi multinasional, dan rezim investasi global yang berlandaskan kepastian hukum bagi modal asing.Â
Dengan demikian, dilema muncul: apakah Sumitronomics bisa benar-benar berdaulat, atau akhirnya jatuh dalam pelukan neoliberalisme yang coba ia lawan?
Pertanyaan itulah yang menjadi kunci untuk menguji nyali Sumitronomics. Untuk menjawabnya, kita perlu menelaah karakter dasarnya, potensi risikonya, tantangan domestik maupun global, serta peluang menjadi antitesis substantif yang dapat membuktikan gagasan ini bukan sekadar wajah baru neoliberalisme.
Karakter Dasar Sumitronomics: Narasi Nasionalisme Ekonomi
Sumitronomics berdiri di atas pilar nasionalisme ekonomi. Negara ditempatkan bukan sekadar sebagai "wasit," tapi sebagai aktor utama yang mengarahkan jalannya pembangunan.Â
Agenda hilirisasi sumber daya alam, penguatan industri pertahanan dalam negeri, serta program swasembada pangan dan energi menjadi simbol dari tekad mengembalikan peran negara. Prinsip ini berbeda secara fundamental dengan neoliberalisme yang menyingkirkan negara ke pinggiran.
Kemandirian menjadi kata kunci. Dalam logika Sumitronomics, produksi domestik harus diprioritaskan, meskipun secara ekonomi mungkin tidak seefisien impor.Â
Hal ini selaras dengan pandangan bahwa kedaulatan ekonomi bukan hanya soal angka-angka pertumbuhan, tetapi juga soal pertahanan bangsa di tengah ketegangan geopolitik global.Â
Berbeda dengan neoliberalisme yang mengagungkan efisiensi biaya, Sumitronomics menempatkan keamanan strategis sebagai pertimbangan utama.
Meski begitu, realitas ekonomi Indonesia tidak memungkinkan kemandirian absolut. Agenda hilirisasi nikel, misalnya, tetap memerlukan pasar ekspor, teknologi asing, dan investasi luar negeri.Â
Dengan kenyataan itu, pintu kompromi dengan neoliberalisme masih terbuka lebar. Narasi kemandirian berpotensi goyah ketika berhadapan dengan kebutuhan modal dan akses pasar global.
Sumitronomics juga ditopang oleh basis politik populisme nasionalis. Ia memperoleh legitimasi dengan menggaungkan kedaulatan dan martabat bangsa.Â
Namun, populisme ini menghadapi risiko instrumentalitas: jargon nasionalisme bisa menjadi alat untuk mengonsolidasikan kekuasaan elite, bukan untuk memperluas kesejahteraan rakyat. Dalam kondisi itu, kedaulatan bisa hanya berhenti sebagai narasi, tanpa transformasi substantif.
Ambiguitas ini membuat Sumitronomics berada dalam posisi genting. Ia ingin berbeda dari neoliberalisme, tetapi sangat bergantung pada faktor-faktor yang mengakar dalam sistem neoliberal.Â
Karakter dasarnya memberi arah, tetapi juga membuka celah bagi kooptasi. Dari sini muncul pertanyaan lanjutan: apakah Sumitronomics mampu menjaga otentisitasnya, atau hanya menjadi variasi lain dari neoliberalisme?
Risiko Kamuflase: Neoliberalisme Berbaju Nasionalisme
Bahaya utama Sumitronomics adalah terjebak menjadi neoliberalisme berkedok nasionalisme.Â
Hilirisasi, misalnya, bisa sekadar memindahkan titik ekstraksi tanpa mengubah struktur ekonomi. Ketergantungan pada ekspor mineral olahan, investasi asing, dan teknologi luar negeri membuat kedaulatan ekonomi tetap semu.Â
Nilai tambah terbesar bisa saja tetap mengalir ke perusahaan transnasional, sementara pekerja lokal hanya mendapat peran subordinat.
Dalam skenario ini, intervensi negara tidak otomatis berarti kemandirian. Justru, negara berpotensi menjadi alat bagi oligarki domestik untuk menguasai sektor strategis.Â
Narasi "kedaulatan" bisa digunakan untuk membenarkan kebijakan yang sebenarnya hanya memperbesar akumulasi kapital kelompok elite.Â
Dengan kata lain, Sumitronomics berisiko menjadi neoliberalisme oligarkis: nasionalisme dijadikan legitimasi, tetapi praktiknya tetap hanya menguntungkan segelintir orang.
Masalah lingkungan dan sosial juga bisa menjadi titik rapuh. Jika industrialisasi dilakukan dengan mengorbankan kelestarian alam, merampas tanah masyarakat adat, atau meminggirkan petani kecil, Sumitronomics tidak hanya gagal melawan neoliberalisme, tetapi justru menambah beban rakyat.Â
Kemandirian nasional tidak boleh dibangun di atas penderitaan warga yang menjadi basis bangsa itu sendiri.
Ironisnya, narasi nasionalisme ekonomi sering kali lebih sulit dipersoalkan dibanding retorika neoliberal yang terang-terangan pro-pasar.Â
Jika neoliberalisme bisa dikritik karena menyerahkan bangsa pada asing, nasionalisme ekonomi yang dikooptasi oligarki justru bisa lebih berbahaya: menutup ruang kritik dengan dalih kedaulatan. Dengan demikian, risiko Sumitronomics bukan hanya gagal, tetapi juga memperkuat konsolidasi oligarki.
Oleh sebab itu, menghindari kamuflase menjadi tugas utama. Sumitronomics harus membuktikan secara nyata bahwa rakyat luas, bukan hanya elite, yang menikmati hasil dari program-program ekonomi nasional.Â
Jika tidak, Sumitronomics akan runtuh menjadi sekadar simbolisme, sementara struktur neoliberalisme tetap kokoh berdiri di balik topeng nasionalisme.
Belajar dari Jokowinomics: Nasionalisme Semu dalam Pelukan Oligarki
Dalam menganalisis prospek Sumitronomics, tidak bisa diabaikan pelajaran dari Jokowinomics yang mendominasi lanskap ekonomi-politik Indonesia selama satu dekade terakhir.Â
Jokowinomics pada awalnya dipromosikan sebagai paradigma pembangunan yang menekankan hilirisasi, pembangunan infrastruktur besar-besaran, dan kemandirian ekonomi.Â
Namun, dalam praktiknya, ia lebih sering dipuji bukan karena kedaulatan, melainkan karena kemampuannya mengakomodasi logika neoliberalisme sambil tetap menjaga wajah populis di dalam negeri.Â
Hal ini menciptakan kesan seolah-olah Indonesia sedang melakukan perlawanan terhadap pasar global, padahal sesungguhnya memperdalam integrasi ke dalamnya.
Proyek-proyek infrastruktur raksasa yang dijalankan di bawah Jokowinomics banyak mengandalkan pembiayaan utang, baik dari institusi global maupun negara mitra seperti Tiongkok.Â
Ketergantungan pada utang dan investasi asing menandakan bahwa kedaulatan ekonomi yang dijanjikan masih bergantung pada modal luar negeri.Â
Dengan demikian, retorika kemandirian ternyata bertransformasi menjadi ketergantungan baru yang justru mengunci Indonesia dalam pola neoliberalisme global.
Selain itu, hilirisasi sumber daya alam yang menjadi ikon Jokowinomics memang memberikan nilai tambah di dalam negeri, tetapi struktur kepemilikannya tetap berpihak pada oligarki besar.Â
Korporasi domestik yang dekat dengan kekuasaan memperoleh keuntungan terbesar, sementara petani, nelayan, atau buruh hanya menerima limpahan kecil.Â
Tak pelak, Jokowinomics berfungsi sebagai mekanisme distribusi keuntungan kepada elite, bukan sebagai alat untuk mewujudkan keadilan ekonomi yang lebih merata.
Keterlibatan oligarki dalam berbagai megaproyek menjadikan Jokowinomics sebagai instrumen politik sekaligus ekonomi. Oligarki mendapatkan konsesi besar, mulai dari tambang hingga energi, sementara negara memperoleh legitimasi politik melalui narasi pembangunan.Â
Hubungan simbiotik ini memperlihatkan bahwa neoliberalisme dapat beradaptasi dengan wajah nasionalisme semu, sehingga tetap mempertahankan logika akumulasi kapital yang timpang.
Dari perspektif rakyat, Jokowinomics memang menghadirkan pembangunan fisik yang kasat mata (jalan tol, bandara, pelabuhan) tetapi belum banyak mengubah struktur ketimpangan ekonomi.Â
Pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan tetap rapuh, rentan terhadap guncangan global, dan tidak menyelesaikan problem mendasar seperti ketergantungan pangan, impor energi, maupun kesenjangan regional.
Pelajaran paling penting bagi Sumitronomics adalah bahwa tanpa keberanian mendobrak dominasi oligarki, kedaulatan hanya akan menjadi jargon dan alat politik.Â
Jika hanya mengulang pola Jokowinomics, yakni menggunakan retorika nasionalisme untuk menutupi logika neoliberal, Sumitronomics akan gagal menjadi antitesis substantif. Yang terjadi hanyalah reproduksi neoliberalisme dalam baju baru, dengan elit domestik sebagai aktor utama penerima manfaat.
Oleh karena itu, inilah salah satu uji nyalinya: Sumitronomics harus berani melampaui Jokowinomics. Harus menjadikan rakyat sebagai subjek utama pembangunan, bukan hanya penonton dari pertunjukan oligarki.Â
Tanpa langkah itu, sejarah akan berulang: neoliberalisme tetap dominan, hanya berganti wajah, sementara kedaulatan ekonomi tinggal retorika belaka.
Tantangan Struktural dalam Negeri
Tantangan terbesar Sumitronomics justru datang dari kondisi internal Indonesia.Â
Pertama, dominasi oligarki. Sektor-sektor strategis seperti energi, pertambangan, dan infrastruktur telah lama dikuasai kelompok bisnis besar yang berjejaring erat dengan elite politik. Tanpa perubahan struktur kepemilikan dan distribusi manfaat, intervensi negara hanya akan memperkokoh posisi oligarki, bukan memajukan kedaulatan rakyat.
Kedua, kelemahan birokrasi. Negara hanya bisa menjadi aktor pembangunan yang efektif jika didukung birokrasi yang bersih, profesional, dan efisien. Sayangnya, birokrasi Indonesia masih menghadapi masalah serius: korupsi, inefisiensi, dan resistensi terhadap perubahan. Dalam kondisi ini, agenda besar seperti swasembada pangan atau industrialisasi pertahanan rawan bocor dan gagal terealisasi.
Ketiga, ketimpangan antarwilayah. Pembangunan industrialisasi sering terkonsentrasi di daerah kaya SDA atau di Jawa. Akibatnya, ketimpangan sosial-ekonomi antara pusat dan daerah semakin melebar. Hal ini bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga politik, karena bisa memicu resistensi sosial yang melemahkan legitimasi kebijakan.
Keempat, keterbatasan fiskal. Program ambisius membutuhkan dana besar. Indonesia masih memiliki rasio pajak yang rendah dan ketergantungan pada utang luar negeri. Jika pembiayaan program Sumitronomics justru bersumber dari utang global, paradoks muncul: kemandirian dibiayai dengan instrumen neoliberal. Dalam jangka panjang, ini bisa menjerat Indonesia pada logika pasar global yang ingin ditinggalkannya.
Dengan demikian, tantangan domestik menunjukkan bahwa Sumitronomics tidak bisa berjalan hanya dengan retorika. Ia membutuhkan reformasi struktural besar-besaran, mulai dari redistribusi kepemilikan, reformasi birokrasi dan aparat (termasuk pemberantasan korupsi), hingga penguatan kapasitas fiskal.Â
Tanpa itu, Sumitronomics rawan runtuh dari dalam sebelum sempat berhadapan dengan tekanan global.
Tekanan Global dan Geopolitik
Selain masalah domestik, Sumitronomics juga harus menghadapi tekanan global. Rezim perdagangan internasional yang dikendalikan WTO membatasi ruang bagi proteksionisme.Â
Larangan ekspor bahan mentah Indonesia, misalnya, telah digugat di forum WTO. Jika Indonesia kalah, agenda hilirisasi bisa terhambat oleh aturan internasional. Ini menunjukkan betapa dominannya kerangka neoliberal dalam menentukan aturan main global.
Geopolitik menambah kerumitan. Dunia sedang berada dalam rivalitas besar antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Indonesia harus berhati-hati agar agenda kemandirian tidak terjebak menjadi alat bagi salah satu kekuatan besar.Â
Ketergantungan yang terlalu besar pada investasi Tiongkok, misalnya, bisa melemahkan otonomi yang menjadi tujuan Sumitronomics. Dalam kondisi ini, "berdaulat" bisa berubah menjadi "bergantung pada mitra baru".
Selain itu, isu perubahan iklim dan transisi energi juga menghadirkan tantangan. Agenda industrialisasi berbasis ekstraksi SDA bisa berbenturan dengan kebijakan internasional yang mendorong dekarbonisasi.Â
Uni Eropa, misalnya, sudah menerapkan carbon border adjustment mechanism yang membatasi produk intensif karbon. Jika Indonesia tidak menyesuaikan diri, produk hilirisasi bisa kehilangan pasar global.
Dominasi sistem keuangan global semakin mempersempit ruang. Rating kredit, arus modal spekulatif, hingga kebijakan moneter global tetap dikendalikan oleh institusi neoliberal.Â
Indonesia tidak bisa serta-merta keluar dari logika ini tanpa konsekuensi serius. Dengan demikian, Sumitronomics selalu berada dalam tantangan: ingin berbeda, tetapi ruang geraknya dibatasi oleh sistem global yang neoliberal.
Maka, pertarungan Sumitronomics dengan neoliberalisme tidak hanya terjadi di dalam negeri, tetapi juga di ranah global. Ketangguhan atau keruntuhannya sangat ditentukan oleh kemampuan Indonesia mengelola tekanan eksternal ini tanpa kehilangan agenda domestik.
Jalan Menuju Antitesis Substantif
Agar Sumitronomics tidak jatuh menjadi neoliberalisme dengan wajah baru, diperlukan langkah-langkah untuk menjadi antitesis substantif.Â
Pertama, memperkuat kepemilikan publik dalam sektor strategis. Bukan sekadar membuka pintu bagi investor asing dalam hilirisasi, tetapi memastikan BUMN, koperasi, dan komunitas lokal menjadi pemain utama. Inilah yang membedakan kedaulatan ekonomi dari sekadar proteksionisme semu.
Kedua, memastikan redistribusi ekonomi. Industrialisasi tidak boleh berhenti pada pembangunan pabrik besar, melainkan harus mengintegrasikan UMKM, petani, dan nelayan dalam rantai nilai nasional. Tanpa itu, kemandirian bangsa hanya menjadi retorika elite. Kedaulatan sejati berarti keterlibatan dan kesejahteraan rakyat luas.
Ketiga, reformasi birokrasi menjadi syarat mutlak. Negara hanya bisa menjalankan intervensi jika birokrasi mampu dipercaya. Korupsi dan inefisiensi harus ditekan agar kebijakan benar-benar sampai pada sasaran. Tanpa birokrasi yang bersih dan profesional, intervensi negara hanya melahirkan rente baru bagi elite politik.
Keempat, di level global, Sumitronomics harus membangun koalisi alternatif. Aliansi South-South, BRICS, atau ASEAN bisa menjadi jalan keluar dari dominasi lembaga neoliberal Barat. Namun, koalisi ini tidak boleh hanya mengganti ketergantungan lama dengan ketergantungan baru. Menjadi antitesis substantif berarti keberanian untuk membangun jalan mandiri dalam kerja sama internasional.
Dengan strategi ini, Sumitronomics bisa benar-benar membedakan dirinya dari neoliberalisme. Bukan hanya narasi politik, tetapi sebuah model pembangunan yang berpihak pada rakyat dan berakar pada kedaulatan bangsa. Tanpa langkah untuk menjadi antitesis substantif, Sumitronomics akan selalu rapuh di hadapan neoliberalisme.
Berdaulat atau Kembali Jatuh dalam Pelukan Neoliberalisme
Sumitronomics hadir sebagai janji untuk mengembalikan kedaulatan ekonomi Indonesia. Narasinya jelas: menolak dominasi pasar, menegakkan peran negara, dan membangun kemandirian pangan, energi, serta industri.Â
Namun, di balik narasi itu, tantangan besar menanti: dominasi oligarki, birokrasi rapuh, keterbatasan fiskal, hingga tekanan global yang neoliberal.
Ketangguhan Sumitronomics bergantung pada keberanian politik untuk menjadi antitesis substantif.Â
Jika berhasil memperkuat kepemilikan publik, mendistribusikan manfaat secara adil, membenahi birokrasi, dan membangun koalisi global alternatif, Sumitronomics bisa menjadi jalan progresif yang benar-benar berdaulat. Melampaui neoliberalisme, bukan sekadar menyamar di balik topeng nasionalisme.
Tak bisa dipungkiri bahwa risiko jatuh tetap besar. Jika hanya dijalankan sebagai proyek oligarki dengan retorika kedaulatan, Sumitronomics akan runtuh sebagai neoliberalisme dengan kedok baru.Â
Dalam skenario itu, rakyat lagi-lagi tetap menjadi penonton, sumber daya tetap dieksploitasi, dan ketergantungan global tetap berlangsung. Kedaulatan hanya menjadi slogan, bukan kenyataan.
Dengan demikian, Sumitronomics adalah proyek uji nyali politik-ekonomi Indonesia di abad ke-21. Apakah kita akan sungguh berdaulat, atau lagi-lagi jatuh dalam pelukan neoliberalisme?Â
Jawaban atas pertanyaan tersebut akan ditentukan oleh kebijakan konkret, distribusi manfaat, dan keberanian untuk menempatkan rakyat sebagai pusat pembangunan.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI