Krisis Politik dan Kerusuhan Agustus
Gelombang kerusuhan yang pecah pada Agustus 2025 menjadi salah satu momen paling genting dalam sejarah demokrasi Indonesia pascareformasi. Kota-kota besar diwarnai demonstrasi, sebagian di antaranya berujung bentrokan keras dengan aparat.
Media massa mencatat eskalasi kekerasan, korban luka, bahkan korban jiwa. Publik pun terbelah: sebagian melihat kerusuhan sebagai ekspresi keresahan sosial, sebagian lain menuduh adanya dalang politik yang ingin mengguncang stabilitas pemerintahan.
Dalam konteks inilah, suara moral publik kembali dicari. Sosok-sosok intelektual dan pemimpin sipil ditunggu-tunggu pernyataannya.Â
Frans Magnis Suseno, seorang filsuf dan rohaniwan yang sepanjang hidupnya menegaskan komitmen pada demokrasi, muncul sebagai salah satu suara penting. Ia tidak berbicara sebagai politisi, melainkan sebagai penjaga nurani bangsa.
Kehadirannya di ruang publik pada Agustus 2025 memperlihatkan bagaimana krisis bukan hanya soal bentrokan fisik, tetapi juga soal arah moral bangsa. Romo Magnis, demikian dia akrab dipanggil, sebagaimana sejak era Orde Baru, menempatkan diri sebagai cermin kritis: mengingatkan bahwa kekerasan, siapa pun pelakunya, tidak boleh membungkam akal sehat dan nurani.
Momen ini membuka babak baru keterlibatan Romo Magnis dalam wacana politik kontemporer: bukan sekadar akademisi atau rohaniwan, melainkan saksi moral yang suaranya memiliki bobot dalam menentukan arah wacana nasional.
Respons Sipil dan Gerakan Nurani Bangsa
Di tengah krisis tersebut, lahirlah inisiatif sipil yang menamakan diri Gerakan Nurani Bangsa. Gerakan ini mempertemukan berbagai tokoh lintas bidang: akademisi, aktivis, rohaniwan, dan pemimpin masyarakat.
Tujuan utamanya sederhana tetapi mendesak: memastikan bahwa kekerasan yang terjadi tidak ditutupi, melainkan diusut secara adil.