Gerakan pemantauan dan pengawasan oleh civil society sangat penting untuk memastikan stimulus fiskal benar-benar menyentuh rakyat, bukan hanya menguntungkan elite ekonomi.
Gebrakan Kebijakan Fiskal Pro-Rakyat Pemerintahan Prabowo
Menteri Keuangan baru, Purbaya Yudhi Sadewa, sejak awal kepemimpinannya telah menegaskan arah kebijakan yang pro-rakyat. Paket stimulus "8+4" dan kucuran dana Rp 200 triliun ke bank-bank BUMN merupakan gebrakan yang dimaksudkan untuk menghidupkan sektor produktif dan memperkuat daya beli masyarakat.Â
Tujuannya jelas: mempercepat pemulihan ekonomi sekaligus memastikan bantuan pemerintah menyasar mereka yang paling membutuhkan.
Kebijakan-kebijakan ini dirancang dengan beragam sasaran. Bantuan bagi ojek online, fresh graduate, dan program kredit produktif diarahkan pada kelompok masyarakat yang rentan secara ekonomi.Â
Hal ini menunjukkan kesadaran Purbaya bahwa pertumbuhan ekonomi tidak hanya perlu angka makro, tetapi juga dampak riil di lapangan.
Namun, gebrakan ini menuntut mekanisme pengawasan yang efektif. Tanpa kontrol independen, potensi penyimpangan atau pengalihan manfaat dapat terjadi, sehingga mengurangi efektivitas program pro-rakyat tersebut.Â
Sejarah distribusi dana publik menunjukkan bahwa niat baik sering terkikis oleh praktik birokrasi yang berbelit dan jaringan korupsi yang menggurita.
Selain itu, stimulus fiskal ini tidak hanya bersifat finansial. Ia membawa pesan moral: negara hadir untuk melindungi rakyat dari ketidakpastian ekonomi. Oleh karena itu, keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada kepatuhan pelaksana di lapangan dan keterlibatan civil society sebagai pengawal dan pengawas.
Yang menarik, Purbaya secara eksplisit mengingatkan agar bank-bank penerima dana tidak menggunakan dana tersebut untuk membeli Surat Berharga Negara (SBN). Peringatan ini menegaskan bahwa kebijakan harus menitikberatkan pada pemenuhan kebutuhan rakyat, bukan keuntungan institusi perbankan atau elite ekonomi.