Mohon tunggu...
Choirurrois
Choirurrois Mohon Tunggu... Penulis - انت بالعقل والفكر لا بالجسد والثياب إنسان choirurrois98@gmail.com

penulis, peneliti dan pengamat ekonomi syariah

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Eksistensi Fatwa DSN-MUI dan Efektivitas Penerapan Sharia Compliance oleh Choirur Rois

28 Juli 2021   19:54 Diperbarui: 28 Juli 2021   20:04 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Untuk dapat memposisikan kedudukan fatwa DSN-MUI pada sistem hukum positif di Indonesia perlu untuk meninjau model negara dalam menempatkan syariat Islam. Dalam konteks ini mengutip pendapat Ahya A. Gayo terdapat tiga model negara dalam memberlakukan suatu fatwa, pertama negara yang menjadikan syariat Islam sebagai dasar dan undang-undang maka terhadap tipe negara seperti ini kedudukan fatwa bersifat mengikat. 

Kedua negara dengan dasar hukum sekuler, maka keberadaan fatwa tidak berfungsi sama sekali. Ketiga, negara yang menggabungkan antara hukum islam dan hukum sekuler maka fatwa berfungsi pada ranah hukum Islam saja.[19] Dengan melihat realitas yang ada di Indonesia dapat dikatakan bahwa Indonesia temasuk pada model yang ketiga. 

Merujuk kepada dasar hukum yang berlaku secara formal di Indonesia yaitu; undang-undang, kebiasaan, keputusan hakim (yurisprudensi), traktat, dan doktrin (pendapat para pakar atau ahli)[20], serta memperhatikan urutan peraturan perundang-undangan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dengan demikian kedudukan fatwa DSN-MUI apabila dikaitkan dengan hukum positif di Indonesia sama halnya dengan doktrin atau ius comminis opinion doctorum[21] merupakan pendapat para ahli yang diakui secara umum.

  Namun, yang menjadi problem akademik berkenaan dengan kedudukan fatwa DSN-MUI pada pemaparan diatas adalah kepatuhan syariah dalam undang-undang perbankan syariah dan berbagai peraturan pelaksanaannya, terlebih pada dataran kerangka dan pemegang otoritas fatwa yang dijadikan dasar kepatuhan sharia compliance. Dimana pada satu sisi dinyatakan bahwa seluruh kegiatan usaha, produk, dan jasa perbankan syariah harus tunduk dan patuh pada prinsip syariah (prinsip hukum Islam berdasarkan fatwa Majelis Ulama Indonesia).[22] Sedangkan disisi lain dinyatakan bahwa fatwa DSN-MUI terlebih dahulu harus dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI).[23] Logika sederhananya kepatuhan terhadap prinsip syariah yang bersifat fundamental baru bisa teraplikasikan dalam praktiknya setelah substansinya dimasukkan kedalam Peraturan Bank Indonesia. Hal ini yang kadangkala menghambat pelaksanaan penerapan prinsip syariah dalam lembaga keuangan syariah "perbankan syariah".

Problematika Positivisasi fatwa DSN

   Proses positivisasi fatwa DSN-MUI merupakan tahapan-tahapan pengalihan substansi fatwa kedalam hukum positif,[24]  hal ini sejalan dengan ketentuan UU Pbs No. 21 Tahun 2008. Tahapan tersebut dilakukan berdasarkan prosedural yang berlaku dalam suatu negara. Di Indonesia sendiri berkenaan dengan mekanisme pembuatan suatu peraturan perundang-undangan berdasarkan pada ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. 

   seperti yang telah dipaparkan diatas, bahwa yang menjadi problem akademik dalam positivisasi atau transformasi fatwa menjadi regulasi yang mengikat dalam perbankan syariah ialah kedudukan fatwa dalam hukum positif dan kerangka pemegang otoritas dalam mentransformasikan fatwa kedalam peraturan Bank Indonesia. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Ja'far Baehaqi bahwa penyebutan MUI sebagai pemegang otoritas untuk mengeluarkan fatwa memunculkan problem terkait kedudukannya sebagai organisasi swasta (berbadan hukum swasta), sedangkan keharusan menuangkan fatwa DSN-MUI kedalam PBI mengindikasikan ketidak konsistenan dalam pemberian mandat bahwa yang mempunyai otoritas dalam membuat fatwa yang dijadikan dasar kepatuhan syariah adalah MUI.[25] Seharusnya DSN-MUI yang secara khusus di bentuk oleh MUI untuk merumuskan konsep dan membuat fatwa yang dibutuhkan oleh lembaga keuangan syariah menjadi satu kesatuan dalam kelembagaan Bank Indonesia.  

Untuk menyikapi kedua problematika diatas menjadi sangat urgen untuk kembali menelaah ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UU Pbs. Pada Pasal 1 angka (7) bank syariah didefinisikan sebagai bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. 

Kemudian pada pasal 1 angka 12 prinsip syariah disebut sebagai prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam menetapkan fatwa dibidang syariah. Selanjutnya pada pasal 21 angka 2 dijelaskan bahwa prinsip syariah sebagaimana dimaksudkan dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia dalam bentuk fatwa.[26] 

Berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam pasal tersebut, dapat dipahami bahwa mulai dari pendefinisian bank syariah dan penjelasan tentang prinsip syariah serta penunjukkan MUI sebagai pemegang otoritas dalam membuat fatwa seharusnya menjadikan DSN-MUI sejajar dengan Bank Indonesia atau setidaknya merupakan bagian struktural dalam organisasi Bank Indonesia dalam hal-hal yang berkenaan dengan positivisasi fatwa dan penerapan prinsip syariah (sharia compliance). 

Sehingga dengan demikian optimalisasi peran unit kepatuhan dan audit internal untuk meningkatkan penerapan prinsip syariah bisa lebih ditingkatkan dalam perbankan syariah. 

Seperti halnya Malaysia dimana DSN mempunyai kekuatan untuk memberikan sanksi terhadap sebuah bank syariah karena kedudukannya berada di bank Negara Malaysia dan bersatu dengan Islamic Banking Devision.[27] Tidak seperti yang ada di Indonesia dimana DSN-MUI kedudukannya hanya pembuat fatwa yang aktualisasinya berada dibawah kendali Bank Indonesia. Selain itu, kerangka pemegang otoritas dalam mentransformasikan materi fatwa kedalam Peraturan Bank Indonesia juga bukan DSN-MUI sendiri, akan tetapi Komite Perbankan Syariah sebagaimana diamanatkan UU PbS[28]. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun