Dikotomi Kota dan Desa
Enampuluh sembilan tahun Indonesia merdeka, namun mewujudkan Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur belum juga terwujud. Kesenjangan sosial akibat dari tidak meratanya pembangunan, berdampak pada adanya dikotomi kota dan desa. Kota dianggap sebagai simbol kemajuan dan kesejahteraan. Sedangkan desa dipersepsikan sebagai tempat tertinggal, bodoh dan miskin. Jangan heran kalau kata 'udik', kampungan' dan 'ndeso' digunakan untuk merendahkan seseorang.
Kesenjangan sosial akibat dari tidak meratanya pembangunan Jawa dan luar Jawa serta kota dan desa, mendorong arus urbanisasi yang memikat warga desa untuk pindah ke kota. Akibatnya, muncul masalah baru berupa kerawanan sosial. Hal ini mengingatkan saya pada perjalanan hidup keluarga saya sebagai perantau dari sebuah desa di Madura, pergi ke Jakarta untuk mencari penghidupan yang lebih baik pada tahun 1980-an. Gemerlap Jakarta seperti lampu terang yang menarik laron-laron untuk terbang mendekat. Walau akhirnya kami pulang kembali ke Madura, saat Ayah diterima bekerja sebagai pelaut kapal luar negeri. Saat itu Ayah memutuskan pergi merantau sama seperti saudara dan tetangga, ke Jakarta, karena tidak ada bisa dilakukan untuk menghidupi keluarga. Untuk menjadi petani tidak memiliki sawah untuk ditanami. Sedangkan untuk menjadi nelayan, tidak punya cukup modal untuk membeli perahu dan peralatannya. Bahkan listrik saja belum masuk ke desa kami hingga menjelang tahun 1990-an. Desa tempat tinggal saya berada di pesisir Bangkalan yang sangat dekat dengan Surabaya. Bayangkan dengan desa-desa lain yang lebih jauh, bahkan di luar pulau yang hingga saat ini saja masih belum memiliki infrastruktur jalan dan listrik yang memadai. Ada yang salah dengan paradigma pembangunan Indonesia, sehingga sampai 69 tahun merdeka, belum juga bisa menjadi negara maju.
Kesenjangan sosial antara Jawa dan luar Jawa, kota dan desa juga dapat membahayakan NKRI. Baru-baru ini tersiar berita, beberapa desa di perbatasan Indonesia-Malaysia di wilayah Kalimantan Utara tepatnya di Kabupaten Nunukan. Masalah utamanya adalah karena akses ke Malaysia lebih mudah daripada ke kotanya sendiri untuk berdagang maupun memenuhi segala kebutuhan. Belum lagi beberapa barang dari Malaysia lebih murah daripada dari Indonesia sendiri. Kerawanan ini bisa terjadi hampir di semua perbatasan wilayah yang pembangunannya tidak diperhatikan pemerintah pusat dan daerah.
Kepala Desa Calon Koruptor?
Saat pertama kali mengetahui Rancangan Undang-undang Desa dan kemudian disahkan pada 18 Desember 2013, saya begitu gembira karena setiap desa akan langsung diberi dana dari APBN antara 1 hingga 1.4 milyar rupiah untuk memberdayakan desanya. Itu artinya setiap desa memiliki kewenangan untuk menentukan apa yang akan dibangun di desanya sesuai kebutuhan masing-masing. Tidak seperti di jaman sebelumnya, aparat atau tokoh politik akan memberikan janji membangunkan jalan atau waduk irigasi bila partai politiknya menang pemilu di daerah tersebut. Akibatnya, banyak daerah yang penduduknya berseberangan pilihan politiknya dengan partai penguasa, tidak akan pernah mendapatkan pembagian kue pembangunan. Undang-undang Desa No. 6 Tahun 2014 tentang Desa ini memberikan harapan dan jaminan, bahwa pembangunan akan terlaksana di semua wilayah, apapun pilihan politik warganya.
Namun pembagian dana pembangunan milyaran rupiah ke setiap desa ini juga membuat saya cemas. Akan kah muncul koruptor-koruptor baru dengan ditangkapnya banyak kepala desa yang diberi amanat sebagai kuasa anggaran. Mungkin saja kepala desa dan lurah yang mendapatkan dana pembangunan 1 milyar tersebut tidak berniat korupsi, bisa saja salah administrasi dan melanggar undang-undang atau peraturan pemerintah tentang pengadaan barang dan jasa.
Kecemasan yang sama disampaikan juga oleh Ganjar Pranowo selaku Gubernur Jawa Tengah, yang melihat fenomena banyaknya kepala desa yang berurusan dengan hukum akibat penyalahgunaan dana bantuan yang hanya 140 juta, apalagi bila harus mengelola dana 1.4 milyar. Muncul pertanyaan besar, "Sudah siapkah perangkat desa menerima amanat dana pembangunan 1 milyar tersebut?". "Akankah pembangunan dari desa bisa berhasil, sementara perangkat desa dan masyrakatnya tidak pernah punya pengalaman dalam mengelola dana pembangunan sendiri?"
Yansen Menjawab Pertanyaan Saya
[caption id="attachment_357072" align="aligncenter" width="300" caption="Buku "][/caption]
Beberapa hari ini saya mencoba menelaan sebuah buku karya Dr. Yansen TP., M.Si dengan judul "Revolusi dari Desa" yang memperkenalkan paradigma GERDEMA atau Gerakan Desa Membangun. Dari buku ini saya banyak mendapatkan jawaban atas pertanyaan dan kecemasan akan implementasi UU No 6 Tahun 2014 tersebut. Yansen bukan hanya sebagai pemrakarsa dan penulis buku Gerakan Desa Membangun, tetapi Beliau juga sebagai pelaku pelaksana paradigma pembangunan yang dimulai dari desa. Â Bahkan GERDERMA ini merupakan hasil penelitian desertasi beliau dengan judul "Masyarakat Desa Tertinggal di Wilayah Perbatasan (Studi Kasus PadaMasyarakat Desa Tertinggal di Wilayah Perbatasan Kabupaten Malinau Provinsi Kalimantan Timur dengan Serawak, Malaysia)" yang artinya telah teruji secara akademik.