Mohon tunggu...
Cechgentong
Cechgentong Mohon Tunggu... wiraswasta -

Alah Bisa Karena Biasa\r\n\r\nMalu Bertanya Sesat Di Jalan\r\nSesat Di Jalan Malu-maluin\r\nBesar Kemaluan Tidak Bisa Jalan\r\n\r\nPilihan selalu GOLTAM

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Sanghyang Sirah : Mengenal Kembali Sirah Diri

23 September 2010   14:22 Diperbarui: 4 April 2017   17:19 2525
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perlu diketahui juga adanya badai tersebut karena bertemunya angin selatan dan angin utara yang menyebabkan gelombang ombak makin dahsyat terutama tepat di titik pertemuan arus yaitu Tanjung Layar. Dalam kondisi masih gelap, kapal masih berjalan dengan baik. Mungkin disebabkan oleh ahlinya Pak Syaukari membawa kapalnya dalam mengarungi besar dan tingginya ombak. Saya sempat juga melihat bagaimana gelombang setinggi 3 meter menyeret kapal dan merasakan mual yang sangat pada saat gelombang ombak naik turun.

[caption id="attachment_2562" align="aligncenter" width="358" caption="Gaya Mengemudi Pak Syaukari yang unik (dok.cech)"]

[/caption] [caption id="attachment_2563" align="aligncenter" width="269" caption="sampan kecil sebagai alat transfer barang dan orang ke kapal (dok.cech)"]
[/caption]

Sekali lagi Alhamdulillah tepat pukul 08.10, kapal sampai di pantai Bidur. Tetapi masih ada masalah dalam memindahkan barang dan orang ke tepi pantai yaitu ombak masih pasang sehingga menyulitkan sampan untuk bisa menepi dengan mulus. Dengan keahlian anak buahnya Pak Syaukari, kami berdelapan dapat menepi ke tepi pantai.

[caption id="attachment_2564" align="aligncenter" width="358" caption="pantai bidur (dok.cech)"]

[/caption]

Baru saja mau melanjutkan perjalanan sejauh 1 km (butuh waktu 45 menit) menuju Sanghyang Sirah, tiba-tiba sandal saya putus dan rusak sehingga tidak bisa dipakai. Mau tidak mau saya melanjutkan perjalanan tanpa alas kaki alis nyeker. Kalau yang belum tahu, kondisi alam di sana maka dianggap mudah tetapi saya harus menahan sakit yang teramat sangat karena seringkali menginjak duri tanaman liar, menahan panasnya pasir pantai, batu karang yang tajam dan lain-lain. Herannya setiap orang menawarkan alas kaki ke saya maka Uyut selalu melarangnya. Ya sudah saya jalani semuanya dengan berusaha gembira sambil meringis kesakitan. Dan ini berlangsung selama pergi dan pulang.

Pukul 10.23 kamipun tiba di Sanghyang Sirah dan istirahat sejenak di mushola yang ada disana. Setelah beberapa menit, Uyut dan teman dari Aceh mandi di pantai Sanghyang Sirah dalam kondisi gelombang ombak yang bergejolak. Sementara teman-teman yang lain mandi di beberapa mata air yang ada di Sanghyang Sirah. Sedangkan saya melepaskan lelah dengan tidur sejenak karena kelelahan menyetir mobil seharian dan mengistirahatkan kaki yang sakit.

[caption id="attachment_2565" align="aligncenter" width="358" caption="Dua Batu Karang Penanda Sanghyang Sirah (dok.cech)"]

[/caption] [caption id="attachment_2566" align="aligncenter" width="358" caption="Keraton Nyi Mas Ratu Mayang Sari (dok.Cech)"]
[/caption]

Pukul jam 11.10, saya dibangunkan oleh Uyut untuk melakukan doa di petilasan Sanghyang Sirah (dalam goa). Sekitar 1 jam kami melakukan tawasulan yang dipimpin Uyut untuk mendoakan para leluhur (karuhun) termasuk orang tua kami yang sudah meninggal dunia. Dari tawasulan itulah kami semua mendapatkan ilham dan petunjuk mengapa 12 orang yang datang ke Sanghyang kemarin mengalami penderitaan lahir batin baik bertupa penyakit malaria maupun urusan ekonomi. Mungkin ini yang dinamakan pengurasan diri atau menuntaskan (mengakhiri) apa yang sudah kami lakukan sebelumnya. Tujuannya adalah agar kami mengenal kembali Sirah Diri (Kepala/Otak yang dimiliki) dengan balutan Keimanan. " Berjalan Dalam Diam, Berlari Dalam Tidur ". Selanjutnya kami mandi di kolam Batu Qur'an yang ada di dalam goa sebagai simbol kegembiraan kami dapat sampai kembali di Sanghyang Sirah.

[caption id="attachment_2567" align="aligncenter" width="314" caption="Petilasan Sanghyang Sirah (dok.Cech)"]

[/caption]

Oh ya, perlu diketahui bahwa kondisi Sanghyang Sirah sudah berubah jauh dan makin tidak terawat. Semua peninggalan kami sekitar 6 bulan yang lalu hilang tanpa bekas. Contohnya tempat makan dan berkumpul dari batu yang pernah kami buat dulu sudah tertutup dengan rumput, rumput dan tanaman liar yang sempat kami bersihkan sudah kembali menutupi jalan menuju Sanghyang Sirah, sampah-sampah pantai kembali berserakkan padahal sempat bersih waktu kami di sana, tempat duduk dari balok kayu sudah hangus terbakar dijadikan api unggun untuk memasak, gelas dari batok kelapa yang kami buat dan titipkan di sana sudah hilang tanpa bekas, botol-botol untuk menyimpan air juga sudah tidak dan masih banyak lagi. Sungguh prihatin kami melihatnya.

Selain itu teman kami yang pernah saya tulis yaitu Wanadi sudah tidak ada di sana alias sudah pulang ke kampungnya di Inderamayu. Kami hanya menemui satu orang anak muda asal Jawa Timur yang sudah 3 bulan menetap di sana. Kamipun berbagi makanan/ransum kepada pemuda tersebut agar dia tidak mengalami kelaparan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun