"Hai, Mel. Minum dulu ya". Lisa memberikan air pada Amel. Tak ada alasan untuk menolak karena ia benar-benar haus dan lemah.
"Mel, aku buat semua ini karena aku sayang padamu". "Bah, kalimat apa itu? Bisa-bisanya dia bilang sayang padahal ia sakiti aku bertubi!" tapi kalimat itu hanya bisa terucap di hati, entah kenapa bibir dan mulut Amel pun terasa lemah tak berdaya.
"Mel, aku sudah ingatkan kamu untuk belajar. Aku ingatkan ujian ini penting. Aku juga ingatkan kamu harus mandiri dan ga tergantung sama orang lain. Tapi selalu saja, kamu abaikan. Kamu jawab ya ya mau belajar tapi kamu tetap main hingga larut. Kamu selalu bilang ulang-ulang; buat apa belajar kalau punya sahabat pintar?" "Mel, sebenarnya aku ini sahabatmu atau jokimu?". "Kamu bilang aku tega sama kamu, apa kamu yakin, Mel? Apa ga terbalik, kamu yang tega pada aku? Kamu hanya ingin enaknya saja, ga belajar, minta contekan, dan berulang gitu terus. Mel, kalau seperti ini model persahabatan yang kamu inginkan, aku mundur. Aku ga suka punya sahabat sepertimu yang mengambil keuntungan dariku. Yang palsu itu sebenarnya adalah dirimu, Mel. Sahabat palsu itu kamu!"
Tatapan Amel tak tertuju pada Lisa. Ia terlalu malu untuk menatapnya. Hanya air mata yang menetes tanpa kontrol. Ia sudah berbuat salah. Ia yang egois dan memanfaatkan sahabatnya. Ia yang palsu, menggunakan label persahabatan untuk kepentingannya sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI