Mohon tunggu...
Candra Permadi
Candra Permadi Mohon Tunggu... r/n

r/n

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

FBI dan Kembalinya Serial-Serial Bertema Dasar dan Berwarna

11 September 2025   17:43 Diperbarui: 20 September 2025   23:17 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Sebenarnya tidak ada yang istimewa-istimewa amat dari serial induk FBI (2018-). Secara umum divisi kriminal FBI yang dikomandoi Isobel Castille (diperankan Alana de la Garza) menindaklanjuti tindak kriminal yang menjadi cakupan FBI yang memang luas.

Cakupan tugas yang bisa berarti menjaga keamanan negara dari ancaman teroris, baik domestik maupun internasional, menangani masalah korupsi dari berbagai tingkatan, mengatasi tindak kekerasan yang berpengaruh terhadap ketentraman masyarakat secara umum (kadang tumpang tindih dengan tugas polisi yang bersifat lebih domestik), atau menangani kejahatan kerah putih.

Tugas para agen pun terbilang sederhana. Hanya mengikuti bukti yang mereka temukan di lapangan.

Bedanya mungkin ada pada koordinasi antara tim lapangan dan tim belakang meja yang dikomandoi Asisten Penanggung Jawab, yang juga diceritakan sebagai mantan pecandu,  Jubal Valentine (Jeremy Sisto), lantaran  temuan di lapangan kadang perlu diproses entah di laboratorium atau cukup dari depan layar komputer, yang biasanya ditangani oleh tukang oprek hardware dan software eh Technical Analyst Ian Lim (James Chen).

Sedang untuk urusan digital lebih sering ditangani para analis intelejen seperti Elise Taylor (Vedette Lim), analis andal berwajah cemas,  yang saling berbagi tugas dengan Kelly Moran (Taylor Anthony Miller) yang berkarakter sedikit humoris.

Dengan sekali dua kali mengetik tombol keyboard, para analis tersebut antara lain bertugas memeriksa kamera lalu lintas atau kamera pengawas (CCTV), menjalankan program pengenalan wajah (facial rec), memeriksa plat nomor kendaraan, yang di beberapa fiksi sering disampaikan dengan frasa "running the plate", memeriksa catatan keuangan (the financial) yang bisa merujuk pada rekening atau laporan keuangan (financial statement) orang atau badan yang dicurigai.

Terlepas beberapa frasa hapalan yang bisa menambah perbendaharaan kata, apa yang dilakukan anggota tim di divisi kriminal tersebut, bukan termasuk hal baru di dunia fiksi televisi bertema prosedur kriminal seperti ini lantaran setidaknya CSI atau NCIS, baik induk atau serial waralabanya sudah memulainya lebih dulu, bahkan dengan teknis yang sering kali lebih detail.

Tayang pada tahun yang berdekatan dengan musim terakhir serial Bones (2017), gerbong terakhir serial bertema fiksi ilmiah populer serupa CSI, FBI terbilang cukup beruntung lantaran tetap CBS menjamin penayangan serialnya setidaknya hingga tahun 2027, sebelas dua belas dengan serial bermusim panjang seperti NCIS,  meski beberapa pemeran regulernya, secara bergiliran, mendapat jatah libur setidaknya dua hingga tiga episode untuk musim-musim mendatang dengan dalih penghematan biaya.

Kebijakan yang berlaku bukan hanya bagi para pemeran agen dalam ruangan, tetapi juga agen lapangan seperti aktris Kanada, Missy Peregrym, yang berperan sebagai agen empatik berkesan pemurung, Maggie Bell atau Zeeko Zaki yang memerankan agen Omar Adom "OA" Zidan, mantan veteran perang irak,  yang diceritakan punya garis keturunan Mesir, Italia, dan Turki sebagaimana pemerannya, serta alumni serial Bones, John Boyd, yang kali ini memerankan karakter berkesan ga bertele-tele, lebih cuek, namun peduli yang sekilas bermarga Italia, Stuart Scola, yang diceritakan berubah haluan karier dari pialang saham (karakter amrik italia terkini banget) menjadi agen FBI salah satunya dipicu peristiwa 11 September.

Stereotipe yang boleh dibilang menggeser kesan orang italia sebagai pekerja kerah biru layaknya Mario tukang ledeng dalam Mario Bros (yang justru bikinan Jepang #eh).

Meski pengaruh dalam jalan cerita tidak sekentara serial-serial lain, boleh dibilang, keragaman latar belakang dan  budaya para karakternya, turut memberi ruang  pengembangan cerita selanjutnya, termasuk saat harus bersentuhan dengan komunitas berbagai negara, dengan sistem keterbukaan dan penerimaan yang berbeda-beda, khas serial-serial besutan produser Dick Wolf, yang karya-karyanya justru lebih sering muncul di stasiun tv NBC seperti waralaba Law & Order dan  Chicago (Fire, P.D., Med) yang memang lebih gelap dan menggigit ketimbang serial-serial CBS yang terkesan lebih elegan, ringan. minim konflik berkepanjangan, serta cenderung memberi kepuasan kalem bagi para penonton, bahkan untuk pelaku kriminal sekalipun.

Menariknya, harus diakui, animo penonton terhadap serial FBI cenderung lebih banyak eh terasa ketika tema dasarnya terbilang cukup intens seperti halnya episode perdana (yang otomatis bikin senapsaran juga) yang dibuka dengan ledakan gedung, yang otomatis mengarahkan prasangka penonton, setidaknya terhadap kemungkinan serangan teroris (setidaknya domesik), dengan potensi jalan cerita yang bisa kita bayangkan variasinya seperti apa,  lantaran terjadi di area padat gedung berhimpitan, yang rata-rata tidak terlalu tinggi.

Pada episode lain, tepatnya pada episode kolaborasi antara FBI dan FBI: Most Wanted, penonton diajak deg-degan menanti nasib para penumpang bus sekolah biasa, yang disandera sekelompok orang, yang salah satu pelakunya berhasil diidetifikasi berkat rekaman kamera ponsel salah satu siswa, yang pada akhirnya dibuang ke jalanan, bersama ponsel para penumpang lainnya.

Petunjuk yang mengharuskan Jubal Valentine, menghubungi satgas khusus pemburu kriminal yang tadinya dipimpin almarhum Jess Lacroix (diperankan almarhum Julian Mcmahon yang kondang lewat perannya sebagai Cole Turner dalam serial "Charm" dan Doctor Doom dalam film "Fantastic Four" 2005) yang sempat menangkap tersangka pelaku berlatar belakang militer tersebut beberapa tahun sebelumnya.

Episode-episode yang uniknya ditonton lebih banyak penonton ketimbang misalnya episode Chicago P.D., serial bergenre serupa tapi tak sama, yang boleh dibilang tayang selang beberapa hari sebelum atau sesudah episode serial FBI tersebut  tayang, meski ironisnya waralaba FBI yang terhitung baru tersebut justru harus ditamatkan lebih dulu, atas dasar penghematan biaya produksi dan tema dasar yang cenderung monoton, sebagaimana tercermin dalam judulnya.

Menariknya, meski berbeda stasiun TV, serial FBI dan Chicago P.D. justru tadi sempat berkolaborasi lewat karakter detektif Haley Upton (yang karakternya boleh dibilang 11-12 dengan agen Bell dengan emosi yang lebih dalam) yang berkesempatan berkunjung ke kantor FBI, untuk  mengikuti program pelatihan antaragensi, yang kali ini kebetulan mendapat tugas menangkap pembunuh berantai berdarah dingin.

Lewat tema-tema dasar yang cenderung makin umum dan terbuka inilah, kita seolah diajak kembali untuk menikmati serial-serial jadul yang lebih mempertontonkan aksi pahlawan biasa, tanpa kemampuan atau peralatan super (atau setidaknya minim), sebagaimana aksi serial-serial polisi atau detektif jadul sebelum saya lahir (betulan), yang kadang dipadu chemistry luwes antar sesama pemeran utamanya seperti serial patroli polisi moge Chips <1977-1983> (diperankan Eric Estrada), Magnum PI <1980-1988> (Tom Selleck) berikut versi reboot-nya (2018-2024), Charlie's Angels <1976-1981> (Jacklyn Smith, Kate Jackson, dan Farah Fawcett)   Moonlighting <1985-1989> (Bruce Willis dan Cybil Sheppard  muda)  atau Remington Steele <1982-1987> yang diperankan Stephanie Zimbalist dan Pierce Brosnan yang juga masih muda ketika itu. 

Tema cerita yang uniknya muncul sebelum atau bersamaan dengan serial detektif berbumbu fiksi ilmiah populer seperti Six Million Dollar Man <1973-1978>, Knight Rider<1982-1986>, Airwolf (1984-1986),  atau MacGyver <1985-1992>, yang mungkin lebih membekas pada generasi era sekarang atau malah sesudahnya, berkat elemen-elemen ikonik, yang berpotensi dihidupkan kembali, dengan pendekatan, seperti unsur teknologi, yang lebih kekinian, terutama oleh layanan streaming berbayar yang biasanya punya sumber daya lebih komplet.       

Tanpa sentuhan teknis rumit,  bisa jadi para penulis lebih bebas mengembangkan naskah cerita, mengikuti alur cerita yang (lebih) wajar. 

Waralaba NCIS terbaru, NCIS: Tony & Ziva (tayang di Paramount+, salah satu anak perusahaan viacom seperti halnya CBS), yang berlokasi syuting di Eropa, terutama Paris dan Budapest, misalnya, juga memakai formula yang sama. Alih-alih mencoba memaparkan cerita dengan pendekatan baru (yang rasanya makin sulit ditemukan), produser John McNamara mencoba menarik simpati penonton lama lewat chemistry kocak antara agen kekanak-kanakan Tony Dinozzo dengan rekan utamanya, mantan agen Mossad kaku jago bela diri, Ziva David, yang menjadi salah satu kekuatan serial NCIS versi CBS eh ori (2003) selama beberapa musim, sebelum keduanya resmi hengkang pada awal musim belasan.

Kesan jadulnya tetap berasa kekinian lantaran keduanya mesti bahu-membahu menangani kasus yang melibatkan malware, yang menyebabkan semua peralatan elektronik dan digital, berfungsi sesuai kemauan penanam (operator) malware, dengan aksi kejar-kejaran dan tema dasar, yang mau tidak mau mengingatkan saya tema dan pendekatan suspense Mission: Impossible pada series-series belakangan, yang meski tidak baru, tetap saja cukup seru karena pada episode-episode awal, yang tayang pada saat bersamaan tersebut, kita dipaksa ikut deg-degan sekaligus menerka motif dan pelaku kejahatan sebenarnya, yang biasanya meleset dari dugaan.

Lewat tema dan jalan cerita serial-serial kekinian kita jadi ngeh, klo tema-tema fiksi ilmiah yang awalnya terkesan eksklusif dan sulit digapai, justru kehilangan daya magisnya seiring makin beragamnya berondongan informasi dari 1080 penjuru angin (dengan variasi opini yang begitu-begitu doang #eh), meski FBI, di salah satu episode-nya tergoda untuk mencicipi formula CSI/MacGyver, lantaran OA sempat menyelamatkan korban luka dengan tampon dan sekantong teh, lantaran kandungan asam tanat dalam teh membantu proses pembekuan darah.

Serial produksi ABC, The Rookie, yang juga mulai tayang tahun 2018 pun sama. Seperti judulnya, the rookie pada dasarnya menceritakan tentang para anak baru yang dibimbing beberapa polisi senior (training officer) dengan cara langsung berpatroli di lapangan, yang rata-rata menindaklanjuti laporan darurat 9-1-1 mulai dari kasus "remeh" seperti keributan antartetangga sampai kasus rada berat khas cerita polisi-polisian amrik, yang melibatkan dar-der-doran, seperti yang dilakukan tokoh utama serial ini John Nolan (Nathan Fillion), mantan kontraktor yang memutuskan menjadi polisi betulan di usia 45 tahun, terinspirasi pengalaman dunia nyata William Norcross yang bergabung dengan LAPD di usia yang relatif sama dengan Nolan.

Rada berbeda dengan stasiun televisi CBS dan NBC yang cenderung lebih taat aturan ketika menyusun naskah cerita. Meski serial-serialnya cenderung runtut dan teratur, stasiun televisi ABC cenderung lebih bebas mengarahkan jalan cerita, termasuk untuk the rookie yang memang didukung cakupan tugas polisi itu sendiri dalam dunia nyata.

Terlebih The Rookie memang terhitung sebagai serial komedi, meski porsinya hanya berkisar antara 15-30%, termasuk lewat kekonyolan Nolan pada sesama sejawatnya, yang memang digambarkan senantiasa serius namun tetap santai dan akrab, termasuk saat berinteraksi dengan rekan seangkatan sesama (mantan) rookie, Lucy Chen, yang dikenal berpendidikan bagus (punya latar belakang psikologi), sebagaimana orang tuanya namun putri mereka tetap dididik dengan cara yang boleh jadi dianggap kaku sesuai tradisi mereka, setidaknya menurut pandangan umum amrik termasuk Lucy sendiri, atau Angela Lopez, mantan training officer lugas eh nyinyir berdarah latin, yang kini bertugas menjadi detektif merangkap seorang ibu,  yang memiliki orang tua berpendidikan biasa ( baca: cenderung kurang), namun tetap tegas dan penyayang cucu. 

Pendekatan wajar dan luwes yang membantu menyiasati secara wajar jalan cerita the rookie pada musim-musim selanjutnya, mengingat seorang polisi Amrik hanya boleh menyandang status rookie, maksimal dua tahun selepas lulus dari akademi kepolisian.

Pendekatan nyeleneh yang bisa jadi ditinggalkan penonton atau justu bakal diteruskan apabila mendapat respons positif dari penonton, termasuk lewat hadirnya tokoh Bailey Nunn (yang diperankan Jenna Dewan), petugas pemadam kebakaran, yang awalnya mungkin hanya direncanakan sebagai tetangga baru Nolan, namun akhirnya mendapat peran tetap, lantaran perannya yang luwes, meski pengembangan dan logika karakternya agak sedikit dipaksakan, seolah meninggalkan peran beberapa aktris kondang yang diceritakan sempat bersinggungan dengan Nolan, seperti mantan pemeran serial Heroes, Ali Larter (Doktor Grace Sawyer), yang sempat punya masa lalu dengan Nolan, bahkan muncul beberapa kali pada musim kedua,  atau pemeran utama serial Bones, Emily Deschanel, yang baru diketahui sebagai mantan istri Nolan, Sarah, selepas muncul sekali pada musim ketiga, tanpa terdengar lagi gaungnya seperti apa sampai sekarang. 

Pendekatan nyeleneh yang apabila mendapat respons positif penonton justru akan dikembangkan secara bertanggung jawab.

Kesan kembali ke tema-tema  dasar uniknya juga dipakai dalam formula cerita Law & Order Special Victim Unit yang juga diproduseri Dick Wolf. Sejak pemeran detektif Olivia Benson (Mariska Hargitay) didapuk menjadi eksekutif produser pada tahun 2014, SVU seperti nama divisinya, berfokus menangani dan membela para korban penganiayaan, termasuk di dalamnya korban pelecehan seksual.

Walaupun ide dasar serial ini masih tetap sama, tidak ada lagi cerita tentang anak kecil yang berkomunikasi instensif lewat telepon dengan Benson, saat disekap di dalam kendaraan yang tengah bergerak. Tidak ada lagi kasus pelaku yang berpura-pura sakit untuk memastikan pasangan tidak berpaling.

Tidak ada lagi juga kasus pelaku (bisa juga dipandang sebagai korban klo perilakunya dinilai sebagai gangguan kejiwaan) yang mengaku masih berusia belia lantaran wajahnya yang kebetulan senantiasa awet muda.

Boleh dibilang, makin ke mari pun karakter nyinyir Benson semakin meluntur seiring bertambahnya usia dan pengalaman, berganti menjadi sosok keibuan yang senantiasa mengayomi, meski beberapa korban justru dianggap sebagai pemicu kekerasan, dengan alasan yang boleh jadi diterima akal sehat, meski tidak selamanya bisa dibenarkan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun