BERTANDA bahaya terjadi ketika Mahkamah Konstitusi (MK), merampok kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI). Bagaimana tidak, tiap unit-unit Lembaga atau Institusi Negara memiliki otoritas sendiri-sendiri. Sedihnya, ada Lembaga Negara tertentu yang berlagak ''power full''.
Lantas mengacak-ngacak, menyulap, dan mencaplok. Melakukan take over terhadap otoritas Lembaga lain. Tumpang-tindih kewenangan sengaja dipertontonkan. Pembahasan mutakhir di ruang publik yang ramai dibicarakan adalah Putusan MK terkait Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal.
DPR RI seperti merasa dilecehkan MK. Seharusnya MK tidak terlalu liberal, over, dan membabi-buta memutuskan sesuatu. Deteksi atau mitigasi atas masalah-masalah yang dilaporkan ke MK mesti secara selektif dikaji. Jika pokok masalah yang dilaporkan tidak masuk ke ranah MK, maka jangan dibahas.
Karena ''pengambil alihan'' kewenangan Lembaga lain akan berpotensi merusak tatanan hukum dan implementasi demokrasi kita secara sistematis. Padahal ada Komisi II DPR RI yang tengah mendesain format Pemilihan Umum (Pemilu) kita di Indonesia. Namun, sebelum bergerak dalam pembahasan-pembahasan terkait Pemilu lebih jauh, DPR RI dilewatkan. MK terkesan begitu terburu-buru.
Ada apa dengan MK, kalau sudah begini?. Jangan-jangan MK menjadi agen dan pintu masuk untuk meloloskan agenda Internasional untuk melakukan penetrasi dalam merongrong harkat dan martabat rakyat Indonesia melalui proses demokrasi. MK dikabarkan memutuskan memisahkan penyelenggaraan Pemilu nasional dan daerah pada 2029 mendatang untuk proses simplifikasi yang tidak merumitkan pemilih (konstituen).
Tapi, kalau dikaji malah memakan anggaran besar. Jauh dari kebijakan efesiensi anggaran. Kemudian, keputusan tersebut akan memunculkan kerawanan baik itu kerawanan politik, ekonomi, memicu lahirnya konflik kepentingan, dan lahirnya krisis konstitusi Pemilu. Riskan, sehingga MK harus dihentikan manuvernya. Jangan MK semakin brutal dalam kerja-kerjanya.
Pemisahan Pemilu menurut Hakim MK bertujuan untuk menyederhanakan proses bagi pemilih. Memperbaiki kualitas demokrasi, serta mengurangi beban berat bagi penyelenggara pemilu dan partai politik yang selama ini menghadapi jadwal pemilu yang sangat padat dalam waktu yang hampir bersamaan.
Walau begitu, siapa yang berani memberi garansi bahwa perhelatan politik mendatang sesuai putusan MK ini akan melahirkan kualitas demokrasi?. Dalil MK, keputusan ini akan mengurangi beban berat bagi penyelenggara Pemilu dan partai politik?, hal ini juga abstrak. Tidak bisa dipegang. Karena aktualisasinya nanti berpeluang lebih buruk lagi dari yang diharapkan.
Bagi saya, sudah benar beberapa Partai Politik mempertimbangkan dan ''menggugat'' putusan MK tersebut. Putusan MK diapresiasi penyelenggara Pemilu. Menurut Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Mochammad Afifuddin konsekuensi lanjutan dari berkurangnya potensi kelelahan yakni kualitas penyelenggaraaan pemilu yang lebih terjamin.Â
''Karena putusan tersebut juga dalam pertimbangannya, MK memerhatikan kondisi penyelenggara pemilu terkait dengan adanya impitan tahapan pemilu dan pemilihan yang dapat berpengaruh terhadap kualitas penyelenggaraan pemilu," ujar Afif saat hadir sebagai narasumber Politics & Colleagues Breakfast (PCB) Series #4 bertema "Pengaturan Keserentakan Pemilu dalam Upaya Penguatan Pelembagaan Demokrasi,'' di Jakarta, Sabtu (28/6/2025), di Jakarta. Â
Di tempat terpisah, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas), Yusril Ihza Mahendra, seusai acara di kantor Komnas HAM, Jakarta, Rabu (2/7/2025), mengatakan, mau tidak mau, pembentuk undang-undang, yakni pemerintah dan DPR, merevisi Undang-Undang Pemilu setelah putusan MK yang memisahkan Pemilu nasional dan lokal itu. Pasalnya, putusan MK final dan mengikat.Â
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 terkait pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal, disebut-sebut dapat meminimalkan beban kerja penyelenggara pemilu, dari sebelumnya lima kotak suara, yakni mengurangi potensi kelelahan petugas di Tempat Pemungutan Suara (TPS).Â
Melalui putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang dibacakan pada Kamis (26/6/2025) itu, MK memisahkan pelaksanaan Pemilu nasional dan pemilu lokal mulai 2029. Pemilu nasional mencakup pemilihan Presiden dan anggota DPR serta DPD, sedangkan Pemilu lokal meliputi pemilihan anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota serta pemilihan gubernur dan Wali Kota/Bupati.
Sudah otometikli keputusan MK itu berimbas luas kepada masyarakat. Jangan dianggap hal ini sederhana, kita harus mencurigai ada apa dibalik putusan tersebut?. Dan apa motif MK, karena nanti di tahun 2025 barulah Hakim MK sadar dan merasa Pemilu kita banyak memakan anggaran, dan lain sebagainya alasan-alasan dimunculkan.Â
Pertanyaan selanjutnya, Pemilu terpisah apakah memberi pesan bahwa Pemilu kita mengalami progres, ataukah tergerus mengalami regres?. Idealnya kualitas demokrasi kita semakin meningkat, dan kita seluruh rakyat Indonesia tidak diseret berkutat pada masalah-masalah klasik semata. Rasanya, MK wajib dipanggil DPR RI untuk dengarkan pendapatnya secara utuh.
Keputusan MK dalam membuat Pemilu Lokal dan Pemilu Nasional melahirkan ''kekacauan''. Kontroversi ini secara tidak langsung mengeliminir peran dan fungsi MK yang kita sebut sebagai guardian of the constitution atau penjaga konstitusi. Betul maka memiliki peran penting dalam menjaga keselarasan antara undang-undang dengan konstitusi. Bukan berarti membuat aturan baru yang melahirkan masalah.
Berbagai problem dimunculkan MK atas keputusan yang dinilai jauh dari nalar hukum yang lazim. Kali ini MK membuat lagi kegilaan yang membuat banyak pihak bertanya-tanya. Ada apa dengan MK?. Sebetulnya putusan MK ini diteliti, diselidiki lagi agar kejelasan di ruang publik dapat terpenuhi. Sepertinya MK mengambil langkah jurus mabuk untuk melahirkan pertengkaran di tingkat politisi maupun rakyat Indonesia umumnya.
Akibat dari putusan MK tersebut memunculkan berbagai spekulasi. Diantaranya, masa jabatan DPR RI, DPRD, Kepala Daerah akan ada kekosongan kurang lebih 2 tahun. Seluruhnya akan dilakukan Penjabat Sementara atau Perpanjangan masa jabatan untuk mengisi kekosongan (transisi).
MK sepertinya sudah masuk terlalu jauh dalam konteks ini. Termasuk penyelenggara Pemilu yang akan diperpanjang masa jabatannya. Seluruh urusan ini otomatis melahirkan konsekuensi anggaran negara (APBN). Ada berkah, adapula mudharat. Bayangkan saja perpanjangan masa jabatan itu akan melahirkan konsekuensi signifikan pada anggaran. Sehingga diperlukan guidance hukum yang jelas, dan tidak merugikan rakyat.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI