Bermain sangat identik dengan anak-anak. Biasanya terdapat pada anak yang sedang dalam fase pertengahan sampai fase akhir atau menginjak dewasa, yaitu kisaran umur 6-12 tahun. Di umur anak-anak sekolah dasar merupakan masa yang paling menyenangkan, di situlah anak usia itu sedang berkembang dan mengalami rasa ingin tahunya yang berlebih, dan mulai mengenal berbagai macam pengetauan di lingkungannya. Mereka mulai melakukan kesehariannya dengan aktif dan kreatif. Salah satu untuk mengisi kesehariannya adalah dengan bermain, dengan permainan-permainan yang dilakukan oleh anak-anak pada umumnya. Seperti permainan tradisional yang menjadi media mereka untuk bermain dan mengisi waktu luang mereka.
Anak-anak zaman dahulu lebih kreatif, inovatif, cerdas dan memiliki semangat yang tinggi, karena zaman dahulu belum ada yang namanya Android sehingga anak berusaha membuat berbagai  permainan sesuai kreatifitasnya sendiri.
Di zaman modern ini, tidak seharusnya masyarakat  melupakan budaya Indonesia. Generasi muda sekarang justru harus  dikenalkan dengan adanya permainan tradisional tersebut. Alasannya, agar permainan tradisional tetap terjaga dan tidak luntur ataupun punah.
Pada zaman sekarang, orangtua lebih suka anaknya bermain di dalam rumah dengan bermain game menggunakan Ponsel/Android. Orangtua banyak yang beranggapan takut anaknya sakit, diculik, dan sebagainya. Padahal game yang ada di ponsel justru lebih banyak memiliki dampak negatif, seperti membuat anak menjadi pemalas, menganggu kesehatan, tidak memiliki kratifitas yang tinggi, serta cenderung lebih mementingkan dirinya sendiri.Â
Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, bermain tidak lagi menjadi aktivitas fisik dalam daya tumbuh kembang seorang anak. Dalam penelitiannya ini menggunakan metode kualitatif deskriptif, menganalisis tentang fakta sosial. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ada tiga hal, yang pertama adanya pergeseran budaya dan nilai terhadap suatu permainan, kedua, kurangnya ketertarikan permainan tradisional karena tidak adanya tantangan dalam suatu permainan dan ketiga, pengaruh lingkungan dan pola interaksi yang menyebabkan tingkatnya kontak langsung dengan anak-anak yang bermain permainan modern.
Dengan adanya pandemi covid-19 ini mengaharuskan pendidikan melalui daring yang para murid di wajibkan menggunakan internet dan gawai. Dengan begitu semakin banyak anak-anak indonesia ini bergantung kepada teknologi digital. Penggunaan handphone yang hampir merata di seluruh plosok pedesaan, memubat anak-anak mempermudah aksesnya untuk mendapatkan pengetahuan baru hanya dengan menggunakan gawai dan internet. Ditambah lagi terdapat gae online yang akan semakin merajalela untuk menguasai mereka sengan permainan yang serba instan, tidak perlu mengeluarkan banyak tenaga cukup hanya diam duduk atau sambil tiduran lalu jari-jarinya yang berkerja. Itu terihat sangat mudah namun juga banyak pengaruhnya. Tidak akan ada lagi yang memainkan bola bekel, dakon, lompat tali sebagai permainan mereka.
Kecenderungan anak melihat gawai memberi dampak yang positif dan negatif. Dampak positifnya membuat anak tidak gaptek (gagap teknologi) dan mengikuti perkembangan teknologi dan masih banyak lagi namun, jika anak di bawah umur menggunakan gawai yang terlalu sering bisa memberikan dampak negatif, yakni bisa merusak mata pada anak. Efek sinar radiasi pada gawai memberikan dampak yang cukup besar jika penggunaan gawai terlalu sering dan terlalu dekat. Bahkan menurut Profesor Lennart Hardell, ahli onkologi dari Universitas Orebro Swedia, pun menambahkan bahwa seseorang yang mulai banyak menggunakan gawai saat remaja punya peluang sebesar 4-5 kali lebih besar mengidap kanker otak ketika dewasa.
Â
Referensi
Octaviyani, Putri Rosmalia. (2016). Butuh Ruang dan Usaha Keras Utuk kembalikan minat anak bermain permainan tradisional. Diakses pada 30 November 2022 dari https://m.mediaindonesia.com/humaniora/82221/butuh-ruang-dan-usaha-keras-untuk-kembalikan-minat-anak-untuk-bermain-permainan-tradisional