Hubungan Digital, Kehidupan yang Semu
Setiap Lebaran, kita sibuk membuat ucapan "Minal Aidin wal Faizin" dengan desain indah dan membagikannya di medsos. Kita mengetik "maaf lahir batin" untuk orang yang bahkan tak pernah kita sapa di dunia nyata. Ironisnya, dengan tetangga di sebelah rumah, kita tak sempat berjabat tangan.
Hubungan digital menciptakan rasa hangat yang semu, seperti kopi sachet: wangi, manis, tetapi cepat hilang.
Saat Membawa Kebenaran Justru Dibully
Tak jarang, mereka yang berusaha membawa kebenaran justru menjadi sasaran cyber bullying. Jurnalis independen, aktivis sosial, atau warga biasa yang mengkritik kebijakan publik sering dihujani hinaan dan fitnah. Di ruang hiperrealitas, kebenaran tidak selalu mendapat tempat --- karena yang viral lebih menguntungkan daripada yang benar.
Menjembatani Realitas dan Hiperrealitas
Kita tidak bisa menolak kehadiran dunia maya. Tetapi kita bisa menolak untuk diperdaya olehnya. Dunia maya seharusnya menjadi jembatan menuju realitas, bukan menggantikannya.
Kuncinya ada pada kesadaran literasi digital. Sebelum menghakimi, pahami konteks. Sebelum membagikan, periksa kebenaran. Sebelum menulis, tanyakan pada hati: apakah ini membangun atau justru merusak?
Dengan langkah sederhana seperti itu, medsos bisa menjadi ruang dialektika yang sehat --- bukan sekadar arena gaduh.
Demokrasi di Era Hiperrealitas
Demokrasi adalah sistem yang riuh tapi perlu. Ia memberi ruang bagi kebebasan berpikir, sekaligus menguji kedewasaan kita dalam menggunakannya. Di era medsos, kita memang hidup dalam hiperrealitas demokrasi --- ketika yang viral seolah menjadi yang benar, dan yang senyap dianggap salah.