Mohon tunggu...
budi antoni
budi antoni Mohon Tunggu... Freelancer

semangat terus

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Apa Benar Masyarakat Menolak Reformasi Polri?

15 September 2025   22:27 Diperbarui: 15 September 2025   22:27 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Apa Benar Masyarakat Menolak Reformasi Polri?

Pertanyaan ini kerap muncul di tengah diskusi publik terkait reformasi Polri. Faktanya, masyarakat tidak menolak reformasi, justru sebaliknya: mereka menuntut perubahan segera agar Polri benar-benar menjadi institusi hukum yang profesional dan humanis. Selama lebih dari dua dekade reformasi berjalan, catatan suram masih menghantui. Komnas HAM mencatat Polri sebagai lembaga yang paling banyak diadukan dalam kasus pelanggaran HAM pada 2024, dengan total 663 aduan. Tragedi tewasnya Affan Kurniawan, pengemudi ojek daring yang dilindas kendaraan taktis Polri saat aksi unjuk rasa 28 Agustus 2025, semakin menguatkan urgensi untuk mempercepat reformasi kepolisian.

Harapan publik jelas: Polri harus menjadi modern, transparan, dan akuntabel. Namun, peneliti CSIS, Nicky Fahrizal, menegaskan bahwa reformasi kepolisian belum dilakukan secara menyeluruh. Menurutnya, yang dibutuhkan adalah perubahan radikal untuk membongkar kultur lama yang masih melekat kuat. Masalah Polri bukan hanya teknis, melainkan kultural---budaya kekerasan, korupsi, dan penyalahgunaan wewenang masih bercokol. Jika tidak ada langkah berani, reformasi akan berhenti pada retorika, bukan kenyataan.

Deretan kasus memperburuk citra Polri di mata rakyat. Dari pemerasan 18 anggota Polri terhadap warga Malaysia di DWP 2024, penembakan siswa SMK di Semarang, hingga tragedi Kanjuruhan, kasus Ferdy Sambo, dan narkoba yang menyeret Teddy Minahasa. Belum lagi insiden bentrokan besar antara polisi dan masyarakat Agustus--September 2025 yang menewaskan 10 orang. Semua ini menunjukkan bahwa problem dalam tubuh Polri bukan kasus per kasus, melainkan sistemik. Maka wajar jika publik menuntut reformasi, karena hanya dengan perubahan mendasar kepercayaan masyarakat bisa kembali pulih.

Prediksi Adang Daradjatun pada 2005 bahwa Polri butuh 15--25 tahun untuk mengatasi budaya kekerasan kini terbukti tepat. Lebih dari 20 tahun berlalu, kekerasan masih menjadi momok yang melekat. Adang pernah menegaskan bahwa hal ini tidak boleh dijadikan alasan untuk menghambat kemandirian Polri. Justru realitas hari ini membuktikan bahwa publik semakin mendesak adanya reformasi nyata dan cepat, bukan sekadar janji panjang yang tak kunjung terwujud.

Langkah Presiden Prabowo membentuk tim reformasi kepolisian adalah momentum penting untuk membuktikan komitmen perubahan. Namun, reformasi harus menyentuh akar: membenahi kultur, memperkuat pengawasan independen, dan menegakkan disiplin internal tanpa pandang bulu. Masyarakat tidak menolak reformasi Polri---mereka justru menjadi pihak yang paling mendukungnya. Karena hanya dengan reformasi total, Polri bisa kembali menjadi institusi yang dipercaya rakyat, bukan ditakuti rakyat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun