Kepada ibu pemilik Warung Barokah, saya memesan empat porsi rujak cingur yang sedang pedasnya. Untuk kami bertiga dan sopir.
Ternyata Ibu warung juga menjual petis udang dan petis ikan. Mumpung terlihat, bumbu-bumbu khas tersebut dibeli.
Perhatian terpusat ke cobek merah. Ulekan besar terbuat dari bonggol bambu menggerus kacang goreng, cabai rawit, bawang goreng, sedikit petis udang, lebih banyak petis ikan.
Bumbu diolah sekaligus untuk empat porsi. Pada empat penjuru cobek diletakkan bahan-bahan irisan: nanas, mentimun, bangkuang, mangga muda, tahu goreng, lontong, dan cingur.
Setelahnya, menyusul sayur kecambah dan kecipir matang. Bukan kangkung atau bayam atau yang lainnya, berhubung jenis sayur daun tidak mudah tumbuh di Bangkalan.
Jadi, memakai kecipir dan kecambah. Mentimunnya pun sedikit berbeda dengan yang biasa saya kenal. Â Ukurannya agak lebih besar.
Kulitnya tebal, irisan kulit mentimun dengan arah tertentu maka kulit tersebut bisa digunakan sebagai "sendok" atau centong untuk mengambil olahan dan bumbu rujak di cobek. Tidak mudah patah ketika digunakan untuk mengambil bumbu hingga cobek menjadi bersih.
Isi atau daging buahnya, sama saja. Dimakan begitu saja, terasa segar.
Di hadapan sudah tersaji Rujak Cingur Bangkalan. Bumbu cokelat melumuri buah, sayur, karbohidrat, dan sumber protein. Tampilan warna yang sangat berbeda dengan rujak cingur versi Malang yang biasa saya beli di Kota Bogor.
Sesendok dari hidangan masuk ke rongga mulut. Berhenti sejenak demi merasakan gurihnya rujak yang sudah lama tidak saya cicipi. Gurih, bukan manis seperti Rujak Cingur Malang.