SERING nongkrong dan ngobrol sambil seruput kopi tubruk di lapak penjualan menu sarapan, satu hal mengikuti adalah saling mengenal antar pengunjung kendati tak mengetahui semua nama. Mungkin begitu ya, bila sejumlah pria sering bertemu maka suasana akrab terbentuk.
Namanya Aip, entah panjangnya, adalah pengelola lapak yang berjualan di teras sebuah rumah Gang Pasama, Jalan Tentara Pelajar (dahulu, Cimanggu Raya), Kota Bogor. Berdagang nasi uduk, lontong sayur, mi glosor, mi/bihun goreng, hingga ketoprak dan lotek (pecel bumbu ulek).
Sesuai permintaan pelanggan, kemudian `Aip menyediakan kopi saset diseduh.
Tak jarang saya memesan kopi hitam diaduk sekali. Ditambah, dua hingga empat potong gorengan. Berhubung sudah sarapan di rumah, saya tidak makan menu "berat". Sesekali saja menyantap mi glosor disiram bumbu kacang. Ringan, tak terlalu mengenyangkan.
Harga mi glosor murah, hanya Rp2.500 sebungkus. Gorengan Rp1.250 sepotong. Kopi Rp4.000 secangkir.
Bukan cuma harga murah, tetapi keakraban antar pengunjung menyeret akan kaki ke lapak tersebut saat melewatinya. Susana yang menawarkan kehangatan, sehangat gorengan belum lama diangkat dari wajan.
Kurang dari sepuluh ribu perak saya mendapatkan banyak cerita. Secangkir kopi dan dua potong gorengan telah memberikan beragam makna.
Kala sedang menyantap tempe goreng hangat dan menyeruput kopi, terlihat pemilik lapak menggoreng umbi-umbian. Penjual singkong, ubi jalar, dan pisang di dekat lapak telah memberikan sekantong ubi kepada Aip yang kemudian membersihkan, memotong, dan menggorengnya.
Ubi jalar oranye sedang digoreng! Salah satu penganan kesukaan saya. Orang bule menyebutnya, sweet potato.
Menurut berbagai sumber, ubi jalar (Ipomoea batatas) lebih dari sekadar karbohidrat manis. Kandungan nutrisinya melimpah. Umbi-umbian yang dulu berasal dari Amerika Tengah dan Selatan ini mengandung:
- Vitamin A (dalam bentuk beta-karoten), yang baik untuk kesehatan mata dan kulit.
- Vitamin C, berperan dalam sistem kekebalan tubuh dan sebagai antioksidan.
- Mangan, mineral untuk kesehatan tulang.
- Kalium, menjaga keseimbangan cairan dan tekanan darah.
- Serat, untuk kesehatan pencernaan dan mengontrol gula darah.
Tanpa mengetahui peranannya untuk kesehatan, dari dulu saya memang penyuka olahan ubi jalar. Waktu masih anak-anak, mendatangi kebun ubi jalar usai dipanen.
Seizin pengolah lahan, teman-teman dan saya menggali tanah demi mencari terikan, yaitu ubi jalar yang masih tertinggal meski telah dicabuti.
"Penemuan" ubi sisa disambut gembira. Tidak mendapat berkilo-kilo, tapi hasil sedikit --mungkin tak lebih dari lima ubi-- telah membuat hati senang.
Ubi bukan diolah menjadi hidangan, melainkan dimakan mentah setelah dikupas kulitnya dengan cara didigit. Dalam proses itu, besar kemungkinan ada saja tanah yang termakan. Kok gak sakit perut, ya?
Balik ke zaman now! Sekarang saya membutuhkan olahan ubi untuk sumber serat. Maklum, setiap hari minum obat dan suplemen membuat saya sedikit agak kesulitan membuang air besar. Ubi diolah menjadi beragam masakan:
- Dikukus, dipanggang, atau digoreng.
- Dibuat menjadi keripik, kolak, atau penganan/kue sebagai camilan.
- Bisa juga ditambahkan dalam sup, salad, atau kari.
Saya terkadang menambahkan ubi rebus dalam salad, sebagai sumber karbohidrat pengganti nasi. Namun, menggorengnya merupakan cara makan ubi yang paling lumrah bagi saya.
Pandangan saya melekat pada ubi yang sedang digoreng. Mengetahui hal itu, Aip menawarkan, "Mau? Ambil saja yang sudah matang!"
"Itu bukan pesanan orang?"
"Bukan. Pemberian cuma-cuma dari penjual singkong dan ubi untuk siapa saja di sini."
Ah, keakraban di antara pedagang menu sarapan, penjual umbi-umbian, dan pengunjung membentuk hubungan pertemanan yang tulus. Bukan sekadar hitung-hitungan, semisal harga kiloan ubi atau seberapa banyak minyak goreng dipakai untuk menggorengnya.
Tangan segera meraih sepotong ubi goreng. Enak, manis, dan garing kendati tidak ditambahkan bumbu bahkan garam. Potongan ubi jalar digoreng begitu saja dalam minyak panas.
Satu potong masuk perut, tangan mengambil lagi ubi hangat. Lagi dan lagi sampai saya lupa, sudah habis berapa?
Satu jam sebelum azan Zuhur berkumandang, saya mengangsurkan selembar dua puluh ribu kepada Aip, "Berapa secangkir kopi, dua tempe, dan lima atau enam potong ubi goreng."
"Kopi empat ribu. Tempe, dua setengah. Semua enam setengah. Ubi gratis."
" ...???"
"O ya, tunggu bentar. Ini bawa pulang ya!" Aip meletakkan ubi dan singkong goreng di dalam kotak kertas.
Hari itu saya membayar Rp6.500 untuk secangkir kopi seduh dan dua potong tempe. Pulangnya, penjual memberi sekotak isi ubi dan singkong goreng  secara cuma-cuma, entah berapa jumlahnya.
Di situ saya merasakan kebaikan hati orang kebanyakan. Para pedagang mikro yang tidak hitung-hitungan, tanpa pamrih, demi hubungan baik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI