BANGUNAN ini terletak tidak jauh dari lampu pengatur lalu lintas Warung Jambu, Kota Bogor. Jalan sedikit, sampailah kaki menapaki anak tangga menuju ke ruang perjamuan. Terlihat sebuah rumah panggung khas Palembang yang difungsikan sebagai surau.
Terakhir mengunjungi rumah makan penyedia pempek dan masakan Palembang tersebut, pada Februari lalu, saya memesan Pindang Patin Asam Pedas dan memberi komentar positif atas rasa dan tampilannya.
Saat mengamati daftar, perhatian sejenak terpaku pada tulisan paling atas: Pindang Patin Tempoyak. Patin adalah ikan air tawar yang kerap menjadi bahan masakan. Tempoyak? Sering mendengar nama, tapi saya belum pernah mencobanya.
Baiklah. Pada kunjungan berikutnya saya berencana memesan hidangan ini demi memupus penasaran.
Kesempatan menghampiri: ada waktu, badan baru keluar dari Mal Warung Jambu, perut belum bersantap, dompet berisi karena baru memperoleh rezeki, dan mata memandang rumah makan khas Palembang itu di kejauhan.
Satu ingatan kemudian meletupkan hasrat untuk menghampiri. Setelah duduk, tanpa memperhatikan menu, mulut mengucapkan satu pilihan dengan penuh keyakinan. Kurang dari seperempat jam hidangan berkuah yang berkepul-kepul tiba di meja makan.
O iya, penyajian makanan utama paling lama 15 menit setelah pemesanan. Lebih lama dari itu, server restoran harus memberitahukannya kepada tamu.
Di hadapan tersaji mangkuk stainless steel berisi Pindang Patin Tempoyak. Masih panas. Sedikit kuah di sendok mencubit bibir ketika diseruput. Sambil menunggu kuah mendingin, saya mencari keterangan tentang Tempoyak melalui internet.
Berdasarkan SK Nomor 362/M/2019 (sumber), Kemendikbud (waktu “dik” dan “bud” masih bergabung) menetapkan Tempoyak sebagai Warisan Budaya Tak Benda dan mendeskripsikannya sebagai berikut:
- Tempoyak adalah fermentasi buah durian.
- Daging durian matang dicampur garam dan difermentasi dalam wadah selama beberapa hari.
- Makanan tahan lama ini terbit karena panen durian yang melimpah di Sumatra Selatan.
- Maka Tempoyak menjadi makanan khas.
- Tempoyak dapat disantap langsung, menjadi bumbu masakan, atau sebagai teman makan nasi.
- Tempoyak dapat diolah menjadi berbagai masakan yang tidak ditemui di daerah lain.
Pindang Patin Tempoyak di depan saya adalah salah satu olahan tersebut.
Tampilannya menarik, dengan kuah agak kental berwarna kekuningan. Hidangan itu menguarkan aroma rempah, khas masakan berkuah Nusantara, dan sekelebatan wangi buah durian. Hmmm ..., tampak sedap.
Di dalamnya terdapat potongan ikan patin, tomat, nanas, daun kemangi, daun bawang, dan terong bulat.
Sesendok kuah memasuki rongga mulut. Saya mendapatkan pengalaman rasa yang berbeda. Komposisi pas dari rasa asin, asam samar, dan manis menciptakan kuah segar.
Manisnya kuah menyentuh lidah. Berasal dari legitnya buah durian yang masih tertinggal pada Tempoyak, kendati telah difermentasi. Aroma dan rasa durian tercecap samar.
Secara keseluruhan, asam dan asin mengimbangi manis. Membentuk kuah yang sangat gurih, menyegarkan, dan membuat lidah enggan mengaso barang sejenak dari kegiatan mengunyah.
Bumbu meresap sempurna pada lembutnya daging ikan patin. Menghasilkan paduan rasa lezat sempurna, yang membuat mulut tak henti-hentinya melumat hidangan hingga titik kuah pengabisan.
Bagi saya, menyantap Pindang Patin Tempoyak adalah pengalaman baru. Pengalaman pertama mencecap Tempoyak --hasil fermentasi daging durian-- sebagai bumbu masakan.
Ternyata makanan/bumbu khas Palembang ini memperkaya rasa. Pengalaman pertama pembuat bahagia indra perasa, yang kemudian mendesak-desak jiwa untuk kembali lagi menikmati Pindang Patin Tempoyak.
Entar dulu ah! Sabar dikit, napa?
Tidak rugi menarik dua lembaran lima puluh ribu dan lima ribu, untuk menebus pengalaman pertama merasakan Pindang Patin Tempoyak.
Pengalaman rasa yang sangat mengesankan. Kelak saya kembali lagi menikmati Pindang Patin Tempoyak, jika ada kesempatan baik (waktu, keberadaan, keadaan perut, dan cukup uang untuk membayar).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI