Semangkuk soto lengkap dengan nasi terhidang di hadapan. Padanya terisi nasi setengah piring, potongan ayam kampung, setengah butir telur rebus, tauge (kecambah) panjang, kubis (kol) rajang, irisan seledri, kuah, dan koya (kerupuk udang dihaluskan bersama bawang putih goreng) disiram kuah masih mengepul.
Penataan dan tampilan menyatakan bahwa hidangan berkuah itu adalah soto Lamongan. Kuah bening kekuningan dan aroma menguar darinya menguatkan sangkaan tersebut.
Sebelum menambahkan air perasan jeruk nipis dan sambal, ada baiknya mencicipi kuah barang sesendok. Hmmm ..., gurih. Rebusan ayam kampung memunculkan kuah dengan rasa enak.
Tidak kentara rasa penyedap buatan. Terasa rempah pembentuk soto Lamongan. Tercecap samar bawang goreng pada kuahnya. Kombinasi rasa yang mengingatkan pada soto Lamongan di dekat stasiun Gubeng zaman lampau.
Asamnya perasan jeruk nipis memperkaya rasa, menguatkan gurih alami. Pembubuhan sedikit sambal akan menggigit lidah dan merangsang mulut untuk terus mengunyah. Kemudian kriukan kerupuk udang menambah pengalaman rasa.
Takbijak menikmati kelezatan dalam ketergesaan. Resapi kunyahan dengan rasa syukur bahwa telah mencicipi hidangan yang lama diidamkan: soto Lamongan nan gurih alami.
Tidaklah rugi membayar Rp22.500 (Rp19.000 untuk semangkuk soto ayam nasi campur dan Rp3.500 kerupuk udang). Segelas teh tawar, gratis.
Cocok. Lain waktu saya kembali, sarapan soto Lamongan di Jalan Sudirman, Kota Bogor. Tak perlu jauh-jauh ke Gubeng, Surabaya, untuk menikmatinya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI